Minggu, 29 Juni 2014

Sandai Santai | Rencana Waktu


Gus... Apa masih luwes untuk mengungkapkan, "waktu cepat berlalu", "tak terasa telah seminggu", perkara waktu yang lebih sering diucap adalah dengan "terlambat", atau aduuuh...!!!  "tenggang yang dihidangkan begitu terbatas". Untuk kali ini saya akan mengungkap waktu sekaligus seminggu dengan sejudul "rencana waktu”.  Memang, yang bisa dijadikan patokan bahwasa-nya seseorang musti merencanakan sesuatu, namun yang perlu diamini bahwa rencana itu tidak pernah tercapai. Yeaaa... Meleset! Barangkali rencana itu sebagaimana doa, kita punya banyak keinginan yang senantiasa di optimiskan dalam insyaallah atau juga amin.

Seminggu lalu saya telah mendapatkan apa yang tidak pernah saya pikirkan, dan itu bagi saya lebih berharga daripada hasil rencana. Rencana telah di seleseikan kurang setengah, anggap saja tidak berhasil. Maunya seminggu ini sudah mencicil proyek nangis, proyek video, proyek event, proyek pameran, proyek konten majalah teman, kewajiban kuliahan, dan haih, no, no, no, no... Tak ada yang di seleseikan dari sekian nian. Kebanyakan sehari dihabiskan di studio, untuk melayani pasien, bersih-bersih, mentata cemacem, dan yang paling tak tersangka, adalah pertemuan dengan teman-teman yang diindahkan dalam mabok dan obrolan yang panjaaaaaaaaang.

Sooo, begitu berjalan hampir setiap hari, lalu dimana hilangnya agenda saya, untuk membaca sekian jam, dimulai dari agenda untuk belajar sekolah, kerapian rumah, salam sayang buat ayah bunda, dan berbagai macam proyek yang sudah terlanjur di mulai (sedikit), oh saya jadi ingat pernah teman bilang, “bahwa sesuatu yang sudah dimulai harus di seleseikan”, boleh jadi relevan dengan ayat Al-Quran yang saya lupa surat dan nomornya,  intinya "jika satu urusan telah selesai, maka seleseikanlah urusan yang lain" yang jadi semua-muanya hanya berbagai model urusan yang tidak pernah selesei. Duh! Gus...

Lalu saya akan menjawab semua ini dengan "bagaimana mungkin jika waktu tak mencukupi" karena waktu terlalu kurang untuk di bagi-bagi, dan minus untuk di saldo-kan, lalu hal lain yang wajib seumpama istirahat, tanpa istirahat (tidur) bakal mati kan kita, jadi serangkum minggu ini adalah : saya seolah tak rela mengorbankan waktu untuk tidur, namun saya juga harus mengikhlaskan waktu tidur, agar esok saya tetap mendapat jatah waktu pula. Dilema juga terjadi, di satu posisi tak rela akan waktu tidur, di satu posisi bakal dapat segala-galanya dari cikal bakal mimpi.

Aaaah.. Bersyukurnya seminggu ini masih bisa merangkum, jangan-jangan waktu merelakan saya untuk menulis, bahkan waktu sendiri sesungguhnya menginginkan untuk berhenti, namun harus mengikhlaskan untuk direnggut aku dalam sejudul:

Tunggu Jeda

"Saya akhirnya sampai ke tempat pulang,
setelah seharian lelah menunggu waktu yang sia-sia... |

Apakah kamu tak mencoba sekedar bermain dengan bosan? |

Tidak, saya tidak mendapatkan apa-apa, baik kesal, gagal maupun sesal... 
Saya hanya masih heran saja,

sebenar-nya apa sih yang di tunggu waktu???"

Minggu, 22 Juni 2014

Sandai Santai | Sri Krishna



Sebagai seorang yang hidup di dunia facebook, mungkin saya termasuk umat yang taat akan online dan kerap bersyukur, karena sangat terasa bahwa tuhan mengirimkan kabar gembira melalui timeline atau most popular, hal ini saya amini ketika saya mendapatkan poster “Konser Sri Khrisna” (sekaligus peluncuran album-nya kalo gak salah) sekitar beberapa bulan lalu di TBY (Taman Budaya Yogyakarta). Pergelaran itu bersamaan dengan sebuah acara yang menawarkan banyak konten, ada diskusi, lapak, bazaar, pameran, juga beberapa teman (Survive Garage) kebetulan turut ada di sana untuk melayani sablon di tempat. Pada kesempatan itu juga saya melihat secara langung penampilan putra-putri Wiji Thukul, juga buah hati tokoh Gusdur, yang jelas tematik acara itu berisi, pejuang kemanusiaan, toleransi, dan refleksi atas perjalanan hidup bernegara dimana meninggalkan segepok catatan yang wajib untuk kita bincangkan - renungkan. Disitu juga termuat persiapan sederhana nan meriah dalam rangka menyambut konser Sri krishna, ada bendera-bendra kecil bertulis Folk Mataram Institute, ada juga potret Sri Krishna dengan pose-pose nyleneh tapi sangat artistik. Dan baru saya ketahui bahwa segerombolan FMI itu adalah orang-orang gila (seniman ternama). Misalkan saya mengatahui siapa itu Putu Sutawijawa, Alit Ambara, juga Samuel Indratma. Dari sekian, itu nama yang saya tahu, berasal dari beberapa naskah yang pernah saya baca juga desas -desus gosip. Tapi memang yang namanya ncik Sri Krishna, baru kali itu mendegarnya, pemaklumannya adalah ‘saya yang kemana aja’, atau ‘mas Krishna yang belum mampir ke rumah saya’ (hehe). Waktu itu, yang terbekas di ingatan adalah, tiket masuk konser tersebut dibarter dengan hasil alam, jadi kita dapat membawa macam-macam buah sayur atau sembako untuk menikmati pertunjukan, dengan konsep beginian saya jadi mikir atas hak-hak manusia yang sesungguhnya, misalkan hak untuk melihat konser, tanpa harus dengan pakem untuk membayar sekian rupingah. Dan sungguh beruntung-nya bahwa yang kita tonton adalah hasil karya besar, sungguh besar.

Kemudian saya mulai memutuskan untuk turut andil sebagai jamaah FMI melalui bangunan grup facebook juga, untuk saya ikuti informasi terkait dengan aganda acara FMI. Yeaaaaah!!!! Saya benar-benar beruntung, selanjutnya di suatu laman saya menemukan poster acara “peringatan 15 tahun wafat YB Mangunwijaya”, dan Sri Krishna turut mengisi acara ini. Di banyak kesempatan ternyata kehadiran beliau sepaket setema bersama banyak rekan yang secara visi dan misi satu setelan, misal bersama Sindhunata, Djoko Pekik, ada juga kolaborasi bersama Ade Tanesia, dan sebagainya. Penampilan Sri Krishna dihidangkan secara asik mengiringi jalannya acara dari awal sampai ending. Menonton panggung-nya, saya hanya bisa mengumpat asu, bajingan, keren banget, gilak, ini musisi benaran. Secara musikalitas ini jenius! berlaku juga sesuai tata hukum, kualitas musik best juga sepadan dengan lirik lagu oke. Menikimati panggung Sri Khrisna saya hanya bisa merinding dan mengumpat berkali-kali, terkadang melintas menuju lamunan seiring lirik dinyanyikan, misal ketika dia menyanyikan lagu Guru Bangsa, Negeri Keparat, Ayo Lawan, pikiran saya jadi kemana-mana. Kalau di bilang ini sebuah pengalaman estesis, maka  mendengarkan Sri Krishna telah membawa saya menuju alam perenungan-perenungan, contohnya kita sampai pada ‘kebenaran harus ada’, ‘keadilan harus nyata’, begitu juga setelah mendengar dan mengalami perenungan, tidak heran juga jikalau meninggalkan sikap pesimis, misal di jaman edan ini “apa mungkin diri ini membuat sebuah perubahan, apa mungkin kita ini akan mampu memperjuangkan, hingga mencapai tujuan, mungkinkah hari depan akan lebih baik???”, ketika pendengar telah mengalami trance ini, si Ncik telah menjawab (pesimis) dalam lagu berjudul  ‘Hidup Maksimal’. Dia bersuara ‘jangan ragu kawan dengan hidupmu, jangan malu, kita harus bisa, kita harus bisa!’. Saya jadi berfikir bahwa lagu ini tidak untuk di dengar, ketika menikmati musikalitas secara telinga jelas nyaman, namun ketika mencoba menjabarkan isi lirik-nya, percayalah anda tidak akan pernah nyaman saat mendengarkan kebanyakan lagunya.

Lagu ini tidak pernah disarankan untuk yang hanya sekedar mencari hiburan, meskipun secara penampilan pangung, Sri Krishna jelas mampu menghibur puas pendengar. Kemudian saya akan berdoa kepada yang maha Penguasa, untuk membisikkan lagu Sri Krishna kepada para manusia sok penguasa-berkuasa. Teruntuk mas Encik “untuk dapat menikmati lagu, memang diperlukan musikalitas yang cerdas setaraf cadas, tapi memang yang luar biasa racikan lirik-nya situ loh bung, membuat saya susah tidur, dari ekpresionis, romantis, sadis, mistis, liris, bahkan sampai ciamis ataupun parangtritis, semua ada”


Situne kok Keren sekali to bung.... salam selo... J

Minggu, 08 Juni 2014

Suara Tato



Ketika seniman tato mendedikasikan karya mereka untuk musik mungkin mereka akan menggambar wajah musisi atau menuliskan lirik lagu di permukaan kulit, lalu bagaimana musisi mendedikasikan karya mereka untuk tato? Yak! salah satu-nya dengan menciptakan lagu berjudul tato atau memasukan kata ‘tato’ dalam lagu mereka. Seberapa penting pengaruh tato di mata musisi? Ya, pengguna tato memang akrap dengan mereka yang memiliki gairah di bidang kesenian, lihat saja tampilan perupa dan para musisi yang seringkali di hiasi dengan tato, dengan ini berarti tato menjadi kepunyaan ‘milik bersama’. Lalu apa saja yang mereka ungkapkan untuk sebuah tato?. Artikel ini dibagi menjadi dua bagian, bagian pertama disebutkan bahwa terdapat lagu yang memang khusus menyuarakan tato itu sendiri, kemudian di bagian kedua kita akan menjumpai lagu yang memasukan materi tato, maksudnya disini lagu itu tidak sepenuhnya menyuarakan tato, namun ada bagian tato yang di nyanyikan. Disini kita dapat menemui pelbagai kisah tato mewakili dinamika-nya masing-masing, siapa sajakah mereka? Simak…!!! mari kita membaca rekaman para musisi atas perjalanan tato melalui nada dan irama.

(Bagian I)

1.      Elpamas, Tato 1991

Dimulai dari tahun 1991 jagat Rock di hebohkan dengan album berjudul “Tato” oleh grup musik yang sedang naik daun bernama Elpamas, dan lagu berjudul ‘Tato’ sekaligus menjadi masterpiece setelah lagu “Pak Tua” yang juga sempat dirilis oleh Iwan Fals. Di dalam lagu ini menceritakan demam tato mulai mewabah, dari musisi, kelasi, penjudi, perampok, pencopet dan tukang jambret, bahkan sampai remaja sekolah. Bercermin pada tahun 1983 melalui “terror petrus” dimana pengguna tato di cap sebagai pelaku kriminal, ternyata itu tidak benar lihat-lah kenyataan-nya tato adalah milik orang banyak, disini Elpamas mencoba mempertanyakan kembali atas tato sebagai cap negatif, lalu di kemudian syair mereka menegaskan bahwa tato itu adalah hasil kerja para seniman, tato juga merupakan warisan nenek moyang bangsa kita. Lengkap pula di akhir lirik bahwa tato bukan bentuk tabu belaka, tentunya dengan maksud tersirat bahwa tato adalah bagian dari seni. Melalui lagu Tato, Elpamas telah membongkar hasil bangunan ‘rezim’ di bawah kuasa Pak Tua.

2.      Marjinal, Masberto 2005

Mewakili era 90-an, lagu Tato-Elpamas cukup membangkitkan geliat tato, walau memang tidak menunjukan perubahan yang signifikan hingga akhir tahun 1998, melalui kurun waktu tersebut mungkin dibutuhkan penyesuaian dan masa pemikiran untuk membawa ‘tato’ kearah mana, saat itu ditandai dengan aktifitas kecil sebagai awal mula pengakuan terang-terangan (legalitas), jadi tato berkembang secara perlahan namun pasti.
Tertanda setelah reformasi meletus, membangkitkan kebebasan berekspresi, kesempatan ini berlaku pula untuk menggiatkan tato lebih aktif lagi. Kemudian membutuhkan separuh waktu lagi (6tahun) hingga dirasa tato telah memiliki sebuah tempat. Tepat di 2005 munculah lagu berjudul Masberto (sebuah akronim dari Masyarakat Bertato) oleh band berlatar Punk dengan nama Marjinal, lagu Masberto adalah perwujudan sikap kritis terhadap masyarakat yang masih memandang tato sebagai bentuk ‘sinisme’, lagu ini adalah jawaban atas diskriminasi terhadap para pemakai tato, lihat saja seperti di tolak calon mertua, tidak di terima kerja, tukang pembuat dosa, di lagu ini pun Marjinal dengan sangat tegas mengemas lirik melalui pertanyaan (seperti di Elpamas), misal “apa tato yang bertindak dan bekerja?”, “apa tato yang membunuh dan megang senjata?”, kita perlu tahu bahwa tahun itu tercatat banyaknya aksi tindak kejahatan melalui terorisme maupun aparat berseragam. Semestinya melalui baris ini pendengar mendapat kejelasan tentang “tato tidak mewakili tindak kejahatan, bahwasanya yang bertindak bukan tato, tapi manusia itu sendiri” perkara nanti mereka memiliki tato ataupun tidak yang jelas tato tak pernah bertanggungjwab atas segala kejahatan. Jadi disini ada upaya untuk meletakan tato pada tempat yang tersendiri (seni/budaya), hal ini sama persis seperti yang dilakukan aktivis era itu di Yogyakarta, mereka adalah Athonk bersama Bob Sick, mewakili Komunitas Tato dan Perupa, (bedanya mereka bersenjata melalui media karya rupa). Lagu ini menjangkau tatatan yang lebih luas lagi dari Elpamas, Marjinal juga berbicara perihal media dan dunia pemberitaan, mungkin ini sebuah jawaban saat ketika dimana berita kriminal di televisi menyajikan tayangan dengan memaksa mereka membuka baju, untuk secara visual menerangkan bahwa pelaku kriminal tersebut dilengkapi dengan atribut tato, ataupun juga saat banyak di dapati di media cetak, segala pemberitaan tentang tato adalah tindak kriminal, sebagai contoh di sebuah judul. “pria bertato kedapatan mencuri”, “pria dengan tato macan tega membunuh istrinya”, seolah tak pernah termuat bahwa seseorang bertato memiliki prestasi ataupun kabar baik melalui aktivitas tato.
Dan yang paling jelas tersampaikan di lagu ini tentunya “Masberto” masyarakat bertato, bahwasanya mereka senang memiliki tato, ada sebuah ajakan untuk “berbahagialah bagi yang memiliki tato”, “tato adalah bentuk sebuah kemerdekaan, sesungguh-nya dengan berkarya seseorang telah di bebaskan”. Bahkan juga kita dapati entah ironi atau parodi “yang penting hatinya kagak bertato”, mengejutkan! Memang perlu di akui pada hasilnya yang kita butuhkan ialah ketulusan, yaitu sebuah simbol dari hati yang bersih, kita tak boleh mengotori hati. Tak dapat di pungkiri lagu ini singkat padat juga ber-(v)isi, kemudian ditutup di akhir lirik, “tato budaya kito (kita)”. Maka Marjinal telah mewarisi, melanjutkan, melengkapi, atas suara langkah awal Elpamas, dan yang lebih utama Marjinal mampu mewakili ‘tato’ pada zaman-nya, lengkap dan tak terkecuali.

3.      Shaggydog, Ditato 2010

Setelah periode 2005, tato semakin menunjukkan perkembangan yang lebih serius, waktu itu banyak komunitas-komunitas tato lahir, kebanyakan mewakili wilayah kota masing-masing, seperti Jogja, Bali, Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dan Malang, kemudian tiap tahun-nya menyebar ke kota-kota lain seperti Solo, Manado, Balikpapan, Medan, Pontianak, Purwokerto, Salatiga, dan Magelang. Untuk kemudian acara-acara tato terus digelar secara berkesinambungan. Dalam setiap kali kesempatan, semenjak itu lagu Masberto terus-menerus mengiringi dan diteriakan, hingga menjadi sebuah anthem untuk terus semangat mengkaryakan tato.
Sampai pada tahun 2009, melalui album Bersinar Shaggydog muncul turut menyuarakan tato, dan apa yang mereka suarakan tentang tato?. Dalam lagu ini Shaggydog mengawali tanggapan dari bayang-bayang kriminal tato, tapi berikutnya tak berfokus disitu, awal lirik tersebut hanya rangkuman atas Elpamas dan Marjinal, kemasan-nya sebuah pernyataan sekaligus penegasan, bunyinya “bukanlah kejahatan bila kau punya tato”, pada tahun ini desas-desis tato sebagai tindak kejahatan memang masih di jumpai, tapi Shaggydog memang bermaksud membawakan-nya secara sekilas. Kemudian setelah itu Shaggydog ingin menyampaikan bahwa dalam lagu ditato adalah sebuah proses menikmati tato, tato sudah bukan menjadi barang ketakutan, lihat saja mereka buktikan dalam lirik “nona-nona manis sekarang punya tato”, baris demi baris menunjukan keterbukaan tato secara lebih, Shaggydog melanjutkan bahwasanya ternyata tato juga mencandu, tak cukup hanya satu kau boleh menambahnya sesuai keinginan, tak perlu menunda-nunda bila perlu dengan segera, simak dalam “buatlah hari ini.. jangan kau tunda-tunda lagi”, ada juga kecenderungan menceritakan proses dan material tato, seperti “sakit tapi ingin, ingin tambah lagi”, juga “jarum menari-nari ala meksiko..” Disini membuktikan bahwa si pengguna tato menikmati proses tato, lalu personifikasi “jarumnya menari ala meksiko”, tusukan jarum seolah sebuah tarian yang indah, proses yang menyenangkan, jadi sisa-sisa ketakutan dalam Marjinal telah Shaggydog ubah dengan kenikmatan. Ada juga indikasi tato milik kebanyakan orang, disini boleh jadi adalah kelompok maupun komunitas, entah itu semacam masberto dalam marjinal atau kalangan musisi maupun komunitas tato, tengoklah syair “aku dan kawan-kawan”, aku dan kawan-kawan disini menunjukkan kelompok, selanjutnya masih ditemui, simak kata “kami” pada syair, “kami akan menemani bila kau ingin tambah lagi”.
Lagu Ditato menjadi ramuan pelengkap yang mampu mewakili dan menemani aktifitas tato sehari-hari. Shaggydog punya cara yang handal, dalam lagu Ditato memunculkan aura bahwa  tato bukan milik (minor) seperti di Marjinal, namun yang terlihat adalah tato milik semuanya, karena Shaggydog mendekatkan unsur-unsur mekanis tato, jadi seolah pendengar seperti sedang ditato, lihat kembali dalam “jarum yang menari-nari”. Jadi pada lagu ini nuansa-nya adalah sebuah perayaan atas kemenangan, karena sebelumnya adalah sebuah bentuk perlawanan-perjuangan yang hebat melalui perwakilan Elpamas dan Marjinal. Hampir tidak ada bentuk kritisi atas lagu ini, karena dalam “bukanlah kejahatan jika kau punya tato” pun kalimat ini sangat umum, itu adalah pernyataan sebagai perwakilan atas tato sebagaimana sebelumnya, Shaggydog tidak menjuruskan kritik kepada siapapun. Jadi jelas dalam lagu ini adalah sebuah bentuk perayaan ‘atas dan kepada’ tato. Kita tidak di pusingkan dengan permasalahan-permasalahan, maka menjadi tepat sesuai dengan genre yang mereka ungsung ialah semacam ska , alternative, yang identik dengan lantai dansa dan suka-cita. Melalui racikan musik yang asik & ciamik, kita tentu mendengarnya seperti diantarkan menuju iklim suka cita dan pesta-pesta. Lunas sudah, sebuah musik perayaan melalui lirik kemenangan.

4.      Devadata, Radjah 2014

Yang paling hangat sekaligus mewakili di tahun ini, kita akan bertemu dengan lagu ‘radjah’ dari band Hardcore asal Surabaya bernama DEVADATA. Lirik lagu ini semakin kuat karena di tulis oleh seniman tato yang punya tempat tersendiri, dialah Jimmy Toge dari studio Radjah Skin Design. Di luar dugaan, ini adalah lirik paling puitis, sebelumnya kita sering menjumpai puitisasi tato bersama Unyil Hanafi, beliau lebih menekan atas anugerah seni, konon melalui proses tato ia seringkali menemui pengalaman-pengalaman religius (lihat video “sesuatu yang terlupakan” / teknik freehand Unyil Hanafi 2012). Bagaimana Toge menuliskan-nya sekaligus Devadata mengemasnya? Tentu jadi kolaborasi yang apik.
Melalui tulisan berjudul ‘radjah’ kita akan mengenal si penulis (Toge) sebagai Penyair, dia menulis rima dengan rapi. Mengulik syair bait demi bait kita dapat  menyimpulkan bahwa dalam lagu ini tato di hadirkan dalam nuansa spritualitas, boleh sebutlah spiritualitas tato. Ada permainan waktu melalui masa yang beragam sehingga sulit menemukan jawab-nya, mungkin lagu ini akan menyatakan radjah itu sendiri yang syarat akan nilai-nilai magis, baik sakral maupun ritual, tujuan lirik-lirik lagu ini adalah sebuah pemaknaan (pengalaman estesis), karena menyangkut obyek yang sangat luas, juga menghadirkan ragam metafor dalam sangkut paut dunia, penderitaan, peluh, tahta, mahkota, cerita, lapar, dosa, nyawa hingga kematian. Kemungkinan besar lagu ini dibacakan dengan begitu lirih dan sayup-sayup, tapi celakanya justru Devadata menyajikan-nya dengan  keras dan keren. Melagukan puisi itu tergolong sulit, karena tiap kata memiliki sifat intonasi sendiri. Apabila pembawaan-nya tidak tepat maka dapat mengurangi nilai puisi itu sendiri, ibaratnya seperti menyanyi dengan suara fals. Band yang sukses melagukan puisi adalah Jogja Hip-Hop Foundation melalui teks-teks Sindhunata. Walau agaknya masih kurang, di lagu ini Devadata tidak terlalu janggal, namun dia sukses men-hardcore-kan-nya. Kemudian yang terus membayangi, Radjah menjadi semacam sesuatu yang lebih dari jangkauan mata, lebih dari lintas bahasa, maka disinilah sprititualitas tato itu muncul. Lalu, ataukah mungkin musikalisasi Devadata mengandung sisi spiritual tententu? Itulah jawaban anda! dan jika iya, maka sempurnalah kolaborasi seniman tato dengan musisi.

(Bagian II)

1. Superman Is Dead, Punk Hari Ini, 2003

Sepanjang catatan, mungkin band punk rock paling dikenal ialah Superman Is Dead, melalui album Kuta Rock City mereka melejit, juga bersamaan hits berjudul “Punk Hari Ini”. Mereka menceritakan bagaimana perkembangan punk dalam bahasan-nya mengenai fenomena (penampilan). Ya, kita sendiri tahu bahwa punk diidentikan dengan kostum yang mampu menarik mata. Di lagu ini dikisahkah demam punk, merambah hebat. Layakyanya tato, punk juga menunjukan perubahan bahwa orang di luar sana mulai menerima punk, entah sebagai gaya hidup atau mungkin hanya sekedar fashion. Dengan dandanan punk seseorang bisa dikata keren, maklum pada masa ini industri musik dilakoni lagu-lagu cengeng. Lalu kita akan menemui sepenggal lirik yang berbunyi “…penuh tato juga piercing nyanyikan lagu cengeng..” waktu itu tato dan piercing identik dengan gaya hidup punk, malah ada asumsi bahwa yang bertato dan memiliki piercing adalah mereka anak punk. Jadi disini tato dimengerti sebagai identitas, yang pada kemudian waktu, identitas itu diambil atau dimanfaatkan oleh sebagian lain yang akhirnya malah terlihat lucu dan bodoh. Beberapa orang mengatasnamakan punk sebagai tampilan keren, ditemukanlah banyak pengguna tato sebagai ajang gaya-gayaan yang tak sepadan dengan kualitasnya, salah satunya dengan cara menyanyikan lagu cengeng. Lagu cengeng disini tentunya, bagian dari mainstream yang sangat di tentang oleh scene punk itu sendiri, tapi dilain prespektif terjadi semacam ambigu, barangkali di ranah musik berlaku hukum tertentu atas pembedaan musik cengeng dan keras, pertama jelas musikalitas, berikutnya mungkin tampilan itu sendiri. Tapi pada dimensi tato hal itu tak berlaku, tato boleh dimiliki siapa saja, perkaranya hanya masalah keluwesan itu tanggung jawab masing-masing. Melalui lagu Punk Hari ini, paling tidak S.I.D telah berani menyumbang kritik atas wilayah yang dipijakinya, tentu penekanannya tentang pemahaman untuk dapat menilai mana yang baik dan tidak, kemudian pendengar disadarkan berada dalam posisi yang mana?.

Rabu, 04 Juni 2014

KUDABESI | FAMILIA

https://twitter.com/KUDABESIHC

Barangkali Tuhan menciptakan manusia dengan kelas-nya masing-masing, kemudian muncul-lah sebuah kelompok, lalu untuk memproklamirkan sebuah identitas mereka akan mengklaim diri sebagai bagian dari komunitas, setelah itu apa yang terjadi?

Di akhir 2013, tepatnya bulan Desember, sebuah band beraliran Hardcore asal Yogyakarta meresmikan album bertajuk Familia, merekalah Kudabesi. Sesuai dengan judul, karya mereka banyak menyajikan dengan tema persaudaraan. Kenapa harus dengan ‘Familia’?. Tentu melalui ‘Familia , Kudabesi menjawab sekelumit permasalahan anak muda, menurut mereka jiwa muda adalah sebuah agen yang memiliki pengaruh besar, muda adalah indikasi semangat dan kebebasan, untuk itu perlu geliat bahwasanya masa ini sebagai langkah menuju perubahan yang lebih baik. Namun pada kenyataan-nya tidak demikian, ada perseteruan dengan sebaya, disitulah arti kembali persaudaraan diserukan, dan Kudabesi berusaha mengupasnya.

Menemui judul ‘perang’, ‘injeksi energy’, ada juga ‘fight’, ‘realita jalanan’, juga ‘we are family’, semua adalah representasi yang lebih bersifat mengajak, menyemangati, dan juga mencoba membakar gelora seperti yang di ungkapkan dalam lagu ‘roda gila’, ‘roda gila’ disini tersurat sekaligus tersirat, bila identifikasinya sebagai sebuah perangkat, tentu kita akan menjurus pada material kendaraan bermotor, namun bisa jadi kendaraan tersebut tak lain adalah analogi dari diri kita sendiri, semisal bagaimana seseorang bermain dengan api, bagaimana menakhlukan api dan menjadikannya senjata. 

Jelas sangat terasa nuansa kebersamaan melalui album ini, maka ketika mereka menyerukan arti sebuah persaudaraan, muaranya adalah tercapainya tujuan bersama. Kemudian ditutup lagu berjudul “Yogyakarta Pride”, adalah semacam renungan kepada kota yang telah membina keberkaryaan mereka sejauh ini, lalu mereka mengahadapi ancaman serius. Untuk itu dengan ‘family’, Kudabesi siap menghadapi tanpa takut, meskipun nyawa sebagai taruhan-nya. Inilah perang yang dimaksud, perang yang sesungguh-nya, untuk memperebutkan kembali identitas yang terampas, memperebutkan kota dan kemerdekaan. Selanjutnya melalui hidangan musik, siap dengar di :