Tampilkan postingan dengan label robert williams. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label robert williams. Tampilkan semua postingan

Kamis, 25 Juli 2019

Mengenal Robert Williams, Bapak Seni Lowbrow

 Robert Williams, di usia kepala 5

Robert L. Williams, kerap ditulis Robt. Williams lahir pada 2 Maret 1943 di Albuqueque, New Mexico, Amerika, adalah seorang pelukis, kartunis, dan pendiri majalah Juxtapoz Art & Culture. Williams adalah salah satu dari kelompok seniman yang memproduksi Zap Comix, bersama dengan kartunis underground lainnya, seperti Robert Crumb, S. Clay Wilson, dan Gilbert Shelton. Karya seninya menjadi khas lantaran campuran dari budaya mobil California, apokaliptisisme sinematik, dan film noir, di mana turut memberi kontribusi dalam menghadirkan gaya baru seni psikedelik.

Masa Kecil dan Pendidikan
Robert L Williams lahir dari pasangan Robert Wendell Williams dan Betty Jane Spink. Saat kecil Williams telah menunjukkan minat pada seni, seperti gambar cat air dan lukisan. Dia pernah masuk ke akadami militer Stark saat kelas satu. Mungkin pengalaman itu menjadi alasan kekagumannya pada benda-benda perang dunia pertama, ia mengoleksi Pickelhaube (Helm Perang) Jerman, di masa tuanya kelak.
Komik karya Robert Williams yang dilelang mahal

Kecintaan lain yang tertanam pada Williams ketika masih kecil adalah tentang budaya mobil. Ayahnya memiliki Parkmore, sebuah restoran drive in yang memiliki layanan antar dan sering dikunjungi mobil hot rod. Williams sendiri memiliki mobil pertamanya berupa Ford 34, coupe, 5 window, saat berumur 12 tahun, yang merupakan hadiah dari ayahnya. Referensi dari lingkungan masa kecilnya bisa dilihat melalui karyanya, termasuk juga di mobil hot rod kostum miliknya.

Kehidupan keluarga Williams sering mengalami guncangan semenjak orang tuanya menikah sebanyak 4 kali dan ia sendiri sering berpindah-pindah antara rumahnya di New Mexico dan rumah ayahnya di Montgomery, Alabama. Perceraian terakhir orang tuanya terjadi pada 1956 ketika Robert berumur 12 tahun, ia memilih tinggal bersama ibunya di Albuquerque. Masa mudanya dihabiskan secara nakal dan hanyut dalam dunia mobil hot rod, bermain High Jinx dan geng-gengan yang membuatnya dikeluarkan dari sekolah negeri saat menginjak kelas 9.

Dalam percobaan untuk menghindari penjara dan kenakalannya, Williams pergi ke L.A pada 1963. Di sana dia menikmati budaya hot rod dan mendapat sekolah seni murah di Universitas Los Angeles sekaligus bekerja di lembaga koran sekolah, The Collegiate, sebagai ilustrator. Di sanalah dia bertemu Suzanne Chorna yang kelak menjadi seorang istri.
Tiga tokoh seniman Kustom Kulture, Von Dutch, Robert Williams, Ed Roth

Willams pindah untuk sementara di Institut Seni Chouinard di mana dia memulai dunia kerja dengan menjadi ilustrator di sebuah produk pakaian kelas rendah. Setelah menikah, Williams meninggalkan sekolah seni Tyranny dan menuju ke ranah profesional untuk bekerja. Sambil mencari pekerjaan yang cocok untuknya, Williams mendesain kontainer untuk perusahaan Weyehaeuser dan membuat karya desain untuk majalah Black Belt. Upaya tersebut merupakan langkah awal untuk menemukan pekerjaan impiannya pada 1965, yaitu bekerja bersama Ed ‘Big Daddy’ Roth yang terkenal dengan figurnya, Rat Fink.

Dunia Komik dan Karir Seniman
Pada akhir 1960-an, sambil melakukan tugas periklanan dan grafis untuk Roth, Williams juga menjadi pelukis minyak yang produktif. Di masa inilah dia mencipatakan lukisan-lukisan Super Cartoon miliknya termasuk Appetite for Destruction dan In the Land of Retinal Delight. Lukisan-lukisan ini diciptakan secara teliti dengan gaya old masters termasuk lukisan-lukisannya sendiri dengan teknis beragam lapis. Karya-karya ini terjual lumayan baik, tapi membutuhkan banyak waktu untuk membuatnya, bahkan sampai setahun untuk menyelesaikannya. Kebanyakan lukisan dikoleksi oleh patron Williams, James Bruckner Jr. dan dipamerkan secara permanen di Museum Movie World Cars of the Stars.

Ketika Studio Roth tutup, Williams bergabung dengan kolektif seniman ZAP Comix dan berkembang membuat gerakan non-konformis, anti kemapanan dengan sesama pemberontak lain seperti R. Crumb, S Clay Wilson, Spain Rodriguez, Rick Griffin, Gilbert Shelton dan Victor Moscoso. Pada tahun 1969, dia menciptakan karakter Comix bawah tanah yang berpengaruh di kemudian hari yaitu karakter anti-hero Coochy Cooty. Karyanya diterbitkan pada 1970 lewat Coochy Cooty Men’s Comics dan ZAP Comix #5, karakternya masih hidup hingga saat ini di lukisan Williams.

Banyak dari komik dan lukisan Super Cartoon miliknya dimasukkan dalam bukunya yang inovatif dan terkenal, yaitu The Lowbrow Art of Robert Williams, diterbitkan pada 1979. Judul buku ini bertujuan sebagai parlawanan atas ‘highbrow’ dalam dunia seni rupa yang tidak cocok dengan ideologi Williams. Pada tahun 1980 an Williams tertarik dengan gerakan punk rock yang terkesan liar dan menemukan audiens barunya. Karya Zombie Mystery Paintings tercipta di suasana klub-klub tengah malam dan ruang konser bawah tanah. Buku yang memiliki nama yang sama terinspirasi dan dipengaruhi dari banyak seniman yang mempunyai kesan energik, seksi, bersemangat dan sangat garang dimana berbeda 180 derajat dengan kerya seni yang eksklusif dan kaku pada saat itu. Karya-karya ini dikerjakan dengan cepat, menggunakan kanvas yang kasar dan dijual melalui sistem waiting list karena masalah permintaan. Ditambah dengan buku-buku tersebut, popularitas karya Williams telah berdiri di galeri-galeri avant-garde seperti galeri La luz de Jesus milik Billy Shire, galeri Zero One,  dan Galeri Tamara Bane.

Visual Addiction adalah buku lukisan Williams berikutnya. Karya-karya yang dihadirkannya lebih rapat dan mulai menampilkan latar belakang dan sketsa yang lebih detail. Buku ini juga memuat Manifesto Rubberneck Williams, yang menyatakan bahwa, "Sesuatu yang mati di jalan memerintahkan berbagi penyelidikan visual yang lebih konkrit daripada 100 Mona Lisa!" Williams menerbitkan beberapa buku lagi ketika karyanya dalam masa perkembangan konten, gaya, dan ukuran. Lukisannya berubah dari model zombie sex ke mekanika kuantum dan dalam pameran terjual habis di kedua ekposisi, sehingga permintaan akan karyanya bertambah dari seluruh dunia.

Dia turut mempengaruhi seniman lain dan memberikan ruang bersuara melalui publikasi seperti Art? Alternatives pada tahun 1992, dan kemudian Juxtapoz Art & Culture Magazine. Williams mendirikan Juxtapoz pada tahun 1994; majalah itu mendorong banyak seniman baru untuk bangkit dan terkenal yang akhirnya menjadi menjadi salah satu majalah seni yang paling banyak diedarkan. Pada tahun 1997 Williams melihat publikasi Retrospective Malicious Resplendence dan membuat pertunjukan tunggalnya di Shafrazi Gallery di New York. Dua pertunjukan berikutnya di Galeri menyusul, pada tahun 2000 dan 2003. Karya-karya tersebut kemudian diterbitkan di Through Prehensile Eyes pada tahun 2005.
Majalah Juxtapoz, didirikan Williams untuk mengakomodir seni alternatif, masih eksis hingga kini


Pameran tunggal berikutnya adalah pada tahun 2009, sekali lagi di Galeri Shafrazi; yang berjudul Conceptual Realism: In the Service of the Hypothetical. Sebuah katalog dengan judul yang sama diterbitkan. Pameran ini kemudian pindah ke California State University, Northridge, pada tahun 2010, di mana Williams berkesempatan melakukan tur karya, serta ceramah yang memberikan penjelasan gerakan seninya, Colloquial atau Exploratory Realism (Feral Art).

Pada tahun 2010, Williams disibukan dengan partisipasi di Whitney Biennial di Whitney Museum of American Art, New York, dengan merilis film dokumenter panjang tentang dirinya. Film itu berjudul berjudul Robert Williams, Mr. Bitchin dan ditayangkan pada 16 Juni 2010 di Museum Seni Los Angeles County, di mana ia menerima tepuk tangan meriah. Film ini diproduksi oleh Rhino Films and Foundation Films dengan mendokumentasikan kiprah dan popularitas Williams lewat budaya mobil dan gerakan komik bawah tanah.

Pada tanggal 9 Oktober 2010, Williams diberi penghargaan prestasi seumur hidup sebagai bagian dari Beyond Eden Fair di Hollywood. Lalu tahun 2011, Williams turut ambil bagian dalam Los Angeles Art Fair dan kembali menyampaikan ceramah lain tentang gerakan seni lowbrow. Karyanya juga termasuk dalam pertunjukan Two Schools of Cool di Orange County Museum of Art. Williams ikut berpartisipasi dengan seniman lain dari The Art Boys, mereka adalah rekan seperjuangan, seperti Gary Panter, Matt Groening, The PIZZ, Mike Kelley, Neon Park, dan Mark Mothersbaugh.
Karya gambar tentang dunia Hot Rod

Pada 2015, Williams mencapai usia 51 tahun. Ia teringat akan pengalaman menghadiri pameran Salvador DalĂ­ tahun 1964 di Los Angeles Municipal Art Gallery, pada saat itu Williams berjanji suatu kelak karya miliknya juga dipajang di institusi yang sama. Visi ini baru direalisasikan dalam Robt. Williams: Slang Aesthetics  yang digelar dari 22 Februari hingga 19 April 2015. Pameran mendapat rekor pengunjung terbanyak, tercatat dilihat lebih dari 20.000 pengunjung. Pameran Robt. mempresentasikan lukisan dan patung dari yang lama hingga baru secara retrospektif, dan dicantumkan dalam katalog pameran kelompok bersama peringatan 20 tahun majalah Juxtapoz. Secara tematis, Williams menegaskan bahwa slang adalah bentuk komunikasi yang valid: "Sebenarnya, slang mewakili kebebasan dari beragam pretensi para seniman yang selalu ingin bertindak sesuka hati." Kini Williams tinggal di lembah San Fernando di California bersama istrinya Suzanne, yang juga seorang seniman profesional. Di waktu senggang, Williams juga piawai dalam mengendarai sepeda roda satu.
  Lukisan Robert Williams yang terkenal
 Lukisan khas Williams

Singgungan Budaya Pop dan Respon Kritikan
Robert Williams pernah diapresiasi pada 1991 oleh Red Hot Chili Peppers lewat lagu Mellowship Slinky In B Major di album Blood Sugar Sex Magik, dikutip dari lirik:

. . . Aku sangat cinta, ya, dengan seorang seniman. Imajinasi, dialah yang paling pintar. Robert Williams, goresan dan percikan, saya mendukung hal abu-abu Anda. Betapa benar hidup Raja-raja dalam gelanggang. Ini hanya beberapa hal favorit saya. . . .

Karya William dan Rat Rod kesayangannya ditampilkan dalam video musik untuk lagu Who Was in My Room Last Night?  dari album Butthole Surfers 1993 besutan Independent Worm Saloon.
 Karya Williams dijadikan sampul band rock legendaris Guns n Roses, sempat dicekal karena disinyalir amoral dan menyinggung kaum feminis


Sementara, keanehan Coochy Cooty,  kemunculan Oscar Wilde pada lukisan Leadville, lalu Appetite for Destruction yang menjadi inspirasi untuk sampul album Guns N 'Roses berujung kemarahan publik yang memaksa Geffen Records memindahkannya ke bagian dalam sampul album. Karya-karya itu menuai kontroversi. Berikut tanggapan Williams yang dikutip dari wawancara 1992:

Saya tidak percaya bahwa penggambaran perempuan saya sebagai bentuk dukungan atas penindasan mereka. Ini adalah hak artistik saya untuk membuat gambar-gambar wanita sebagai imajinasi saya. Ingat, saya dengan senang hati menerima sebutan ‘Orang Buruk’ untuk melanjutkan ekspresi saya. Dengan kata lain, tidak ada yang akan menghentikan saya dari melukis wanita telanjang ....
 Lukisan kontroversial menampilkan potret pengarang terkenal Oscar Wilde

Karya lukisnya sering disebut lowbrow art atau pop surrealism
Dari lukisan-lukisannya, Williams telah menyatakan, "Lukisan saya tidak dirancang untuk menghibur anda, mereka dimaksudkan untuk menjebak anda, untuk menahan anda sebelum mencoba untuk berpikir lewat elemen-elemen dari gambar yang membuat Anda berdiri di sana." Dari istilah ‘lowbrow’ sendiri, Williams dengan teguh membantah bahwa istilah itu dimaksud untuk mendefinisikan karyanya, ia mengatakan bahwa itu hanya digunakan dalam judul buku pertamanya The Lowbrow Art of Robert Williams.
Sering memunculkan kartun dan mobil


  Williams di bengkel kerja

"Tidak pernah ada niat untuk membuat judul buku saya menjadi nama gerakan seni, tetapi seiring waktu, yang tampaknya hal itu telah terjadi. " ungkapnya.  Dan sebagai penyokong kekuatan gerakan seni Lowbrow / Pop Surealisme, dia berkata,"Ini boleh disebut Lowbrow Art dan Pop Surealisme dan banyak nama yang berbeda, tetapi yang utama ini adalah seni yang liar. Ini adalah seni yang membangkitkan dirinya di hutan belantara." Dalam sebuah wawancara telepon tahun 2015 Williams menekankan,"Gerakan seni yang saya lalui adalah 'Colloquial' atau 'Exploratory Realism' ... 'Feral Art'. "

   Bersama koleksinnya, helm perang Eropa lawas

 Lukisannya kerap memuat kata-kata yang cukup ekstrim dan provokatif

Buku penting mengenai karya visual Kustom Kulture

Williams produktif dalam membuat buku

Bagian dari fase estetik dengan menampilkan latar lebih natural

Gaya ungkap lukisannya komikal

Di pameran retrospektif sekaligus merayakan ulang tahun majalah Juxtapoz yang ke-20

  Mobil Hot Rod terkenal karya Williams


Kamis, 19 Januari 2017

Seni Grafis yang Makin Romantis


Di era kemudahan produksi yang hampir tidak mengenal batas, dengan segala fasilitasnya, sebagaimana yang mampu dikerjakan alat-alat produksi semacam mesin cetak, print dsb, berikut tawaran kecanggihan yang semakin waktu memperlihatkan kemajuannya. Fenomena tersebut tidak melulu diterima, dianut, dan dirayakan oleh semua orang. Konon, hanya orang-orang maju yang mampu menerima dan menyambut dengan sepenuh hati atas apa-apa saja yang berbau kemajuan teknologi sebagai ciri makhluk survival. Di luar itu mereka adalah orang-orang tertuntut, orang tertinggal, orang mundur, lebih celakanya; orang kalah dan sesegera dilindas oleh roda besar bernama ‘peradaban’, benarkah?.

Beberapa orang justru lebih khusyuk menggeluti dunia yang kini dikenal sebagai ‘laku manual’, dalam hal ini adalah mereka yang menggeluti bidang seni grafis. Ada beberapa pertimbangan atas kehadiran karya grafis akhir-akhir ini. Bahwa aspek manual masih memenuhi prasyarat estetis, yang dikerjakan dengan sentuhan-sentuhan tangan sebagai wujud ekspresi. Adapun sudut pandang dalam melihat karya yang dihasilkan murni oleh alat – otomatis – dinilai tidak memenuhi ‘proses’, gampang dan mudah dilakukan siapapun. Atau produksi seni grafis telah sampai pada fase ‘kesadaran’ tentang otonomi seni grafis itu sendiri [1].

Dalam pengamatan saya ketertarikan atau minat terhadap produksi karya grafis merupakan romantisme. Ada apresiasi khusus terhadap sebuah proses – sebagaimana fase yang musti dilalui dalam menghasilkan karya grafis, yang lebih menyuratkan pada kerja manual. Sebab, mereka cukup jemu menjumpai pemandangan visual yang sekian banyak jumlahnya yang dihasilkan oleh perangkat serba otomatis, terutama foto dan karya desain berbasis komputer. Adapula, boleh disinyalir bahwa baru saat-saat ini karya lukis dianggap membosankan dan kuno, lalu karya seni grafis dilihat lebih menantang dengan tingkat kesulitan produksi berikut kerumitan prosesnya. Seni grafis akhirnya menjadi eksperimen yang menyenangkan yang mampu menyasar kondisi batin si penggarapnya, setidaknya sebagai pemenuhan kontemplasi di zaman yang makin sengkarut.

Mencoba mengamati perkembangan seni grafis akhir ini, terutama di medan visual berbasis kolektif, komunitas, klub, grup dan sejenisnya, yang mana kebanyakan beranggotakan para anak muda. Beberapa kerja-kerja seni grafis yang dilakukan secara berkelompok masih menunjukkan gelagat yang bersifat kampanye atas keberadaan seni grafis itu sendiri. Hal ini mengingat masih banyaknya presentasi ataupun kegiatan yang dihadirkan dalam bentuk workshop, terutama untuk karya cukil kayu. Sebab, publik secara umum memang belumlah akrap dengan karya seni grafis dalam pengertiannya sebagai pengetahuan; sejarah, jenis, teknik, medium dan apresiasi. Meski sebenarnya, publik secara visual tidak asing atas karya-karya grafis yang mudah dijumpai dalam rutinitas harian mereka, misal seperti jenis karya yang dihasilkan dengan teknik cetak saring/sablon yang melekat pada baju-baju mereka.

Dengan berbagai latar belakang dan pertimbangan, motor-motor penggerak seni grafis masih tetap berjalan dan memberikan kerja yang makin terlihat, bahkan lebih menarik perhatian. Kecenderungannya bisa dilihat dari kehadiran kolektif, komunitas, grup, lembaga dan personal yang aktif mempresentasikan kegiatannya dalam berbagai medium; pameran khusus karya grafis yang tematik, workshop, diskusi, dan berbagai macam project.

Cukup hangat untuk menegok berbagai aktivitas. Grafis Minggiran yang terbukti makin eksis dengan presentasi yang beragam, terutama menyasar pada kesenian tipe kolaboratif dan partisipatif. Kemunculan Club Etsa yang didominasi para kawula muda, dalam slogannya yang cukup jelas ‘etching –share –fun’. Krack Studio yang dengan terang menawarkan tempatnya sebagai ruang produksi karya grafis yang kebanyakan disasarkan kepada seniman diluar kerja grafis. Jangan dilewatkan event Jogja International Miniprint Biennale, tahun ini menawarkan konten acara berupa kuliah umum memuat materi yang cukup spesifik mengenai karya seni grafis dalam tinjauan wacana dan perkembangan. Kemudian Taring padi, komunitas Tangan Reget tentunya telah menoreh warna tersendiri. Tak terlupa serangkaian kerja lembaga Bentara Budaya; Triennal Seni Grafis, yang memiliki perhatian khusus atas seni grafis – begitupun kesenian lainnya, sengaja dirancang dalam skema urgent.

Saya menyasarkan perhatian di luar jangkauan kerja-kerja seni grafis, terutama wilayah pop urban, yaitu menemukan beberapa pola kerja sebagaimana yang diformulakan oleh para pegrafis dalam upayanya memberikan nilai pada sebuah karya. Jika boleh diamati, sebagai contoh, sebuah band merilis album, kaos, buku dan berbagai merchandise dengan format terbatas, seringkali hadir dalam kode-kode semacam signing atau numbering. Kehadiran produk ini setidaknya dengan maksud agar benda tersebut memenuhi sifatnya sebagai ‘collectible item’, benda yang berharga dan layak dikoleksi. Meskipun di lain pihak konsep tersebut hanyalah sebagai kedok mengingat dana produksi yang terbatas pula. Memang publik (kolektor seni grafis) berbeda sebagaimana publik urban – dalam soal harga karya seni. Setidaknya lewat fenomena tersebut, para pegrafis tidak perlu meragukan sikap apresiator yang konon kurang cerdas, akhirnya tinggal bagaimana mengembangkan kerja pemasaran.

Karya grafis kini mendapat apresiasi lebih tersebab perkara tekniknya, dari cukilan kayu, intaglio, litografi hingga cetak saring yang merepresentasikan sebagai bagian dari kerja manual. Mengenai konsep ‘keterbatasan’ adalah upaya yang sifatnya lebih situasional. Sebab, keterbatasan yang disengajakan dapat diproduksi lewat mesin cetak otomatis yang tetap saja mampu memberikan nilai yang sama sebagaimana karya grafis.  Hal tersebut dapat disimbolkan dengan kode-kode tertentu – tak lain celakanya adalah dengan cara manual. Grafis telah mengundang sisi romantik, sebagai penegasan bahwa sentuhan memiliki kekekuatannya dan bekerja dengan caranya sendiri.

Cukilan Kayu Esa Adi: Demi Grafis, Maafkanlah Hamba…

Beberapa bulan lalu, pada kurun November 2016 bertempat di galeri Sangkring Art Project, Esa memamerkan beberapa karya cukilan kayu yang cenderung berukuran besar, seukuran A0 . Pameran dihadirkan dalam mini group bersama rekan sepermainannya sejumlah 9 orang. Pameran mereka beri judul EVERYTHINK, yang secara tema besar merupakan presentasi karya urban berbasis lintas subkultur, ada tattoo, graffiti, drawing, illustration, typografi, graphic dan design. Karya tersebut kembali dipamerkan bersamaan dengan karya lain yang rata-rata diproduksi tahun sebelumnya, 2015 – lebih menonjol penggunaan warna merah berikut permainan layer, kesemuanya dihadirkan dalam pameran Tugas Akhir berjudul “Metafora Gurita dalam Penciptaan Karya Seni Grafis Cetak Tinggi (Hardboardcut)”. Menarik menjadi poin adalah karya cukil Esa Adi menjangkau dua ruang uji sekaligus. Pertama kepada publik, kedua di wilayah akademis. Ada sedikitnya beberapa catatan yang akan diuraikan mengenai karya Esa atas presentasinya kepada publik, dengan mengambil beberapa konteks dalam youth culture, urban dan fenomena kolektif.

Visualisasi gurita sengaja dipilih sebagai dasar pembentukan image karya, dan metafora menjadi instrumen dalam tugasnya mendistribusikan berbagai makna, hal inilah yang menjadi konsep Esa dalam berkarya. Secara umum boleh diartikan, ia hendak menghadirkan objek gurita dengan pendekatan yang puitik. Menengok beberapa pola, gurita dalam karya Esa tidak seluruhnya mempresentasikan subjek atupun ketokohan, kecuali beberapa judul karya yang sengaja ‘digabungkan’ dalam format octo-x (misal; octohorn, octocircus, octosamurai, octowings), seri tersebut menurut saya adalah yang paling ideal terkait konsep.

Berikutnya dalam judul nahkoda diri, time of my life, dan daddycation sesungguhnya cukup membuat rancu atas konsep yang ia tawarkan. Tiga karya tersebut, lebih cenderung mengandalkan permainan objek sebagaimana tantangan gaya surrealist – menaruh objek semaunya. Artinya di situ gurita telah hilang fungsinya sebagai metafor, sebab ia disejajarkan dan hadir bersamaan objek yang dimetaforkan atau objek yang berfungsi sebagai metafor itu sendiri, seperti  kemudi, tulang rusuk, jam pasir dan tengkorak. Satu disayangkan lagi bahwa bagian tubuh gurita (kaki/tangan) terlihat hanya memenuhi aspek dekoratifnya. Hal ini juga ditemui di seri merah; legtopus dan handtopus – tak lebih dari  sifatnya yang hanya memadukan.

Ada yang khusus bagi Esa, bahwa karya cukilnya keluar dari kecenderungan umum, di mana seringkali dijumpai karya cukil hadir dalam gaya ekspresif, seperti biasa ditemui lewat karya-karya kelompok lembaga kebudayaan Taring Padi yang sarat akan muatan propaganda dan protes. Karya Esa Secara visual nampak bergaya pop, sebagaimana rekaan gambar yang dihasilkan oleh alat berbasis digital macam komputer, atau lebih dikenal dengan type vector. Hal ini tersebab ia mempunyai latar belakang aktivitas sebagai designer – terlebih keputusannya mengambil konsentrasi Desain Komunikasi Visual. Adalagi, Esa juga keluar dari kecenderungan visual seseorang yang mempunyai kapasitas kerja design, di mana seringkali menghadirkan banyak objek untuk diolah dan dikombinasikan dalam rumusan  layout. Justru karyanya tampil dalam nuansa tunggal, simpel namun juga detail. Ia sperti mengamini pakem-pakem tradisional yang dalam istilah alternatifnya; oldskull[2].

Perupa yang sesekali menyalurkan hobinya bermusik keras ini mengaku begitu kagum dengan karya Katsusika Hokusai, yang paling dikenal dengan judul “ The Great Wave Off Kanagawa”. Maha karya sempurna yang memenuhi perhitungan Fibonacci, sekilas nampak lukisan tapi sesungguhnya adalah karya Woodblock Print. Ini membuatnya makin tertarik sekaligus tertantang dengan karya grafis. Ia juga antusias menyampaikan bahwa “logo fashion brand kenamaan Quiksilver terinspirasi dari karya tersebut”, karya Hokusai seolah memakemkan bentuk ombak, keren! Berbeda lagi dengan idolanya yang lain, tersebutlah Dennis Mcnett a.k.a Wolfbat, sosok ini menjurus gebrakan karyanya di lingkungan urban yang lebih industrial. Seniman cukil ini popular di medan subkultur macam scene punk hingga skateboard. Karya-karyanya mendapat apresiasi berlebih  dalam ujud produk-produk keluaran berbagai brand, seperti Kr3w Denim, Vans dan Anti-Hero Skateboard. Menarik, bahwa para seniman urban dikukuhkan posisi dan popularitasnya lewat visual yang kerap hadir dalam produk. Seringkali muncul dalam kaos, kover album, poster, video klip dan sebagainya – tidak dalam presentasi formal macam pameran ataupun kompetisi seni.

Menyimak pencapaian visual karya cukil Esa bisa membawa kita dalam kondisi dilematis. Bahwa dengan tipe gambar, sebagaimana ia sajikan, khas dengan pola cap, bidang yang solid, garis yang tegas, dan tidak mengenal background – minim ekspresi, tidak jauh beda dengan hasil kerja aplikasi corel draw misalnya. Peran yang dapat kita sumbang adalah apresiasi atas kemampuan teknisnya. Ada beberapa komentar yang muncul – komentar pada umumnya, bahwa teknis sesesorang dianggap hebat karena dapat menyamai kerja mesin, mesin seolah dalam posisinya lebih hebat dari manusia. Ini pandangan yang salah, mereka lupa kepada siapa pencipta mesin. Memang Esa mempunyai kemampuan mumpuni dalam hal teknis, kemampuan ini pula yang menjadikan karyanya unik. Namun jika kita lebih menekankan Esa pada wilayah teknis, maka seusungguhnya kita adalah apresiator yang menyedihkan. Celakanya, yang menjadi pertanyaan, apakah kasus-kasus ini relevan di wilayah pop urban?

Robert Williams, bapak lowbrow sejagad raya itu, menerima sambutan visualnya dalam konteks fine art tersebab gaya visual yang disebut pop surrealist. Ketokohannya baru benar-benar kukuh ketika ia mendirikan majalah Juxtapoz. Ahli racik hal-hal underground macam komik, modifikasi kendaraan, film dan serba-seri psychedelic. Perlu berpuluh-puluh tahun membangun dunia bawah tanahnya menjadi wacana penting. Kerja karyanya lebih banyak menekankan aspek kemasan, berupa gimmick ataupun games. Dalam dunia lowbrow, sesungguhnya penuh muatan politik, ia tampil dengan cara simbolis. Luar biasanya, semangat pergerakan ini disebarluaskan melalui trend dalam berbagai produk. 

Esa saat ini dan dalam pameran ini memang dalam jangkauan hal-hal yang bersifat personal dan tahap permulaan ekplorasi artistik, ia masih muda dan bersemangat. Usaha saya dalam menyebut Robert Williams dengan maksud untuk memberi gambaran bagaimana skema kesenian urban bekerja. Jika boleh menyebut ia seperti persilangan antara produksi artistik dengan industri, antara yang akademis dengan yang underground, antara yang politik simbolis dengan yang tren. Serasa kompleks, karya cukil Esa lewat Tugas Akhir bisa jadi pemberontakan atas ‘kecenderungan mahasiswa’, gambar sarat pop adalah sesuatu yang konvensional, laku manual merupakan sikap protes, pengalaman bak intermezzo dan boleh jadi grafis hanyalah sebagai alat.


[1] Meminjam telaah Aminudin Th Siregar dalam Tentang Seni Grafis – Majalah Visual Art Juni 2010; Kehadiran karya seni grafis di Indonesia yang diperkenalkan oleh Mochtar Apin lewat proyek seni grafis dilihat sebagai kepentingan politik. Proyek ini digagas oleh Sekretariat Menteri Urusan Pemuda untuk menyambut ulang tahun kemerdekaan pertama, Agustus 1946.
[2] Semacam aliran yang berkembang pada fase awal, hampir di berbagai medan subkultur mengenalnya. Misal dalam hip-hop, graffiti juga tattoo. Oldskull untuk menyebut bentuk yang awal sebagai pembeda dari yang klasik ataupun kuno.