Rabu, 11 Mei 2016

Generasi Mudi Seni Kini

collaborative mural on progress for the next two man show exhibition (I AM Project)

Generasi Mudi Seni Kini

Generasi muda, umur produktif, usia matang, tenaga berlebih, bebas, lepas, liar,… Muda adalah posisi di mana sekian beban ditanggungkan. Celakanya, zaman senantiasa menagih apa-apa saja dari para muda untuk turut dalam festival agung bernama ‘sejarah’. Dalam medan sosial seni, barangkali usia tidak menjadi soal, masing-masing baik tua ataupun muda memiliki hak yang sama dalam berbagai aspek: ruang, tema, isi, gaya dan sebagainya. Semua bebas, seniman bebas, bebas sebagaimana pola-pola yang lumrah dalam kesenian. Kesenian lazim memperlakukan usia tua sebagai bintang, makin tua makin jadi, seringkali popularitas seorang seniman mampu saja bertahan hingga akhir hayat, bahkan makin menjadi setelah kematiannya. Bagi seniman yang memiliki kesadaran akan ‘generasi’, usia bakal jadi sensitif. Mereka hadir hendak membangun panggung, untuk membuktikan siapa dirinya, kumpulannya, menampilkan karya-karya terbaik, yang tentu dengan sekian tawaran pembedaan-pembedaan atas karya apa-apa saja yang pernah tercipta. Untuk kemudian secara langsung dan tidak langsung berupaya menyerang para tua, hal demikian sah. 

Setiap masa, dalam satuan dekade misalnya, menawarkan berbagai bentuk fenomena baru. Tiap fenomena memiliki daya khas lewat kehadirannya dalam sebuah ‘waktu’ tertentu. Demikian berbagai peristiwa direspon oleh berbagai macam usia, seringkali usia muda tampil lebih agresif, meledak-ledak, untuk kemudian berupaya menunjukan sikapnya dengan sesegera mungkin. Lalu, untuk apa musti membedakan usia muda dengan usia tua. Tentunya karena terdapat jarak, dalam hal ini adalah para pelaku waktu yang berbeda, sebab masing-masing pelaku generasi memiliki keunikan tersendiri dari segala jenis perubahan situasi. Jadilah sebuah kebolehan untuk mencoba membagi-bagi posisi seniman dari berbagai generasi dalam rangka mencari nilai tawar masing-masing pelaku.

Kini di tahun 2016, para perupa generasi lahir di kisaran tahun 90-an sedang asyik-asyiknya menggosip (membedah) baik laku maupun karya seniman generasi sebelumnya. Dalam medan sosial seni rupa, sebutlah mereka, seniman yang dimaksud, adalah generasi lahir era 80-an. Di Yogyakarta khususnya, tiap tongkrongan para seniman muda lebih hangat dengan obrolan, misal, seperti apa proyek terbaru kolektif seni Punkasila, apa karya terakhir Farid Stevy, bagimana terobosan anyar Eko Nugroho, atau geliat apalagi yang ditawarkan Wok The Rock dan kumpulannya. Boleh diposisikan bahwa panggung seni kini berhasil menokohkan para seniman tadi. Indikasinya, para seniman macam Farid Stevy, Uji Hahan beserta generasinya menjadi titik fokus perhatian generasi 90 di setiap perhelatan kesenian. Di berbagai kesempatan, kebetulan mereka memiliki posisi sentral dalam aktifitas seni mutaakhir. Ada semacam keharusan para kawanan Farid Stevy untuk hadir lebih dominan. Ini seperti sebuah waktu yang dipersembahkan sengaja untuk mereka, pilihannya; ambil atau tidak.

Secara siklus, mestinya, generasi sebelum Farid, kurun waktu 2000-an adalah kepunyaan Ugo Untoro, Bob Sick, S Teddy dan sepermainannya. Satu dekade sebelumnya, 1990-an adalah milik Heri Dono, Eddie Harra dan kawan-kawan. Berikut sebelumnya milik G. Sidharta, Bagong Kussudiarjo dan sepaketnya. Seolah masing-masing seniman memiliki masanya sendiri yang harus diperjuangkan sebisa mungkin. Jadi tak heran apabila muncul sebuah ungkapan atau respon “sudah saatnya habis”, “boleh hadir tapi hambar”. Tiap generasi mau tidak mau diberikan waktu sendiri, mereka bakal berada di fase jaya jika mampu dan mengalami masa hambar jika mau. Kini para seniman muda yang baru saja hadir dan yang telah memulai perjalanan, baik sadar atau tidak, sebenarnya tengah berproses menyumbang lini masa. Seperti sebuah keharusan, ini berarti panggung tahun 2020-an, secara alami akan memposisikan seniman lahir 90-an berada dalam sebuah bingkai kajian di berbagai disiplin. Bisa juga mereka tak mendapatkan posisi tersebut, sebab masih didominasi generasi sebelumnya atau telah direbut generasi setelahnya. Beban berlanjut.

---

Kemunculan kelompok (ruang kreatif) dengan menawarkan gagasan yang serba alternatif menjadi medium hadirnya seniman-seniman baru. Menyimak semenjak 2010, beberapa kelompok lahir dan aktif lewat beragam kegiatan telah melahirkan nama kolektif. Sebut saja Gigi Nyala, Roemansa Gilda, Minority Collective, Club Etsa dan lain-lain. Masing-masing tampil secara terbuka yang kebanyakan memiliki tawaran sebagai ruang berproses, untuk outputnya seringkali berupa pameran. Masing-masing ruang juga bermaksud menghadirkan seniman (member) tampil secara solo serta bergiliran. Bagi mereka momen akan diamini sebagai permulaan. Kebanyakan pameran diberangkatkan dari ruang-ruang kecil yang  memang jadi khasnya, seperti ruang seni alternatif, warung kopi juga cafĂ©.

Melihat ruang muda yang paling produktif saat ini, keberadaan kelompok Ketjil Bergerak patut dipertimbangkan. Ketjil Bergerak bisa menjadi contoh ideal sebuah komunitas. Secara unik mereka mengusung slogan bersifat partisipatif “siapa saja yang muda, kreatif, berani, berdikari adalah kecil bergerak!”. Dari slogannya saja seolah mengandung terror, di mana dapat menanyakan ‘posisi’ atas publik, terutama kaum muda. Ketjil benar terasa telah mempraktikkan strategi serba jitu.  Beberapa program kebanyakan hadir dengan konsep kolaborasi, siapa saja diterima untuk datang dan pergi. Mereka mengkaji  wilayah khas muda-mudi (urban) yang jarang dibahas namun sesungguhnya perlu, sebagai contoh seni jalan, tato, musik, bahkan sampai kajian marxisme. Selanjutnya masih dilunaskan dengan berbagai aksi melalui kemasan proyek dengan nuansa bermain. Lewat Ketjil, banyak hal (serius) berhasil dikemas dengan enteng, khasnya dengan tipikal bahasa ala remaja gaul. Jangan salah, tujuannya pun dalam koridor jelas. Walau nampaknya main-main namun sesungguhnya apa yang mereka lakukan  besar, yaitu  “pergerakan sosial”.

Kehadiran berbagai komunitas alternatif tersebut menyebabkan hubungan sosial antar komunitas. Mereka kerap tampil dalam suatu event sebagai partisipan mewakili ruangnya sendiri. Jika satu komunitas menyelenggarakan acara seringkali melibatkan para peserta dari komunitas lain. Komunitas seperti menjadi sebuah kecenderungan. Jika mau ditakar, 80% lebih peserta event (pameran) adalah mereka yang merupakan member komunitas tertentu, semua saling terhubung dan masing-masing memiliki cipta khas tersendiri. Dari Gigi Nyala misalnya, kebanyakan karya banyak diwarnai dengan gaya pop art - lowbrow art dengan mengambil subjek kebanyakan anak muda. Sementara, Roemansa Gilda atau mereka yang kebanyakan berbasis fine-art (ISI), akhir ini lebih cenderung ke surreal nan indah (lihat pameran “Alone, Together” – Kelompok Sekilas, Taman Budaya Yogyakarta 2015), kebanyakan berdaya visual pop. Dalam suatu gelaran, seringkali mereka tampil bersamaan. Komunitas A bisa mencatut seniman dari komunitas B, C, dan lain-lain. Member dapat senantiasa untuk untuk saling-singgah ruang. Sangat mungkin ada satu member yang jadi bagian dari berbagai komunitas, seminimal mungkin pernah mengisi program-program yang dihadirkan, baik peserta ataupun partner. Bisa dibilang, generasi lahir 90 sedang giat-gianya dalam berproses, membertimbangkan berbagai tindak laku yang kelak merangkum nasibnya sebagai seniman.

Dua Gigi: Ervance dan Sebtian

Gigi pertama, melihat pencapaian visual Ervance sebenarnya masih meragukan. Kita memahami Ervance sejauh ini adalah sebagai orang yang banyak bertanggung jawab atas kerja-kerja organisator suatu gelaran seni. Bisa dibayangkan dalam satu momen misalnya, ketika ia menjadi ketua panitia pameran Art For Orangutan di Jogja National Museum, 2015 . Karya macam apa yang berhasil dipamerkan Ervance ketika harus berhadapan dengan aktifitas seperti mengonsep acara, mengundang para peserta pameran, mencari kawan, partner sekaligus sponsor. Belum lagi musti menangani soal publikasi dan sekian embel-embel event. Pada saat itu ia menghasilkan karya lukis kanvas dengan mengambil objek orangutan (realis) sekaligus menyertakan typography ala caligraphy. Dari sana sebenarnya mulai terlihat bagaimana pegangan visual Ervance. Sebentuk objek realis (kepala), untuk kemudian typografi ia jadikan siasat  komunikatif sebab berupa teks. Meski karya tersebut kurang maksimal, terutama dalam hal teknis terkait warna, yang jadi serupa gambar belum selesai.

Sosok (kiprah) Ervance sendiri justru gambaran hal-hal yang nanggung, belum tuntas sebagaimana kerja-kerja Ervance sendiri. Lihat bagimana pribadi Ervance yang telah berhasil membangun ruang, tapi belum maksimal mengelolanya. Ia juga telah berhasil membangun konsep visual, namun belum tuntas soal teknis. Lalu apa menariknya dari ketidakselesian Ervance? Melihat Ervance baik sosok dan karya adalah sebentuk perjalanan yang telah diketahui akhir tujuan. Sebagai ilustrasi, ia pernah berangkat dari kota A ke B. Suatu hari teman menanyakan pengalaman perjalannannya. Ervance ingin menyampaikan pengalaman tersebut ke seorang kawan, namun ia tak kuasa untuk menceritakan proses atau pengalaman dalam perjalanan tersebut, katakanlah muncul ‘misteri proses’. Ia seperti telah melupakan, atau tak sadar dalam berproses, bisa jadi telah ketiduran saat menempuh perjalanan. Ia berhasil datang ke kota B, tanpa kuasa yang bukan berarti enggan dapat menceritakan kondisi jalan, pemandangan sekitar, atau berapa kali bertemu jembatan. Sepertinya kerja visual Ervance akan jadi penting ketika ia dapat merangkum proses apa-apa saja yang terjadi di ruangnya geraknya. Ia telah dilabel.

Kehadiran karya Ervance dalam pameran ini sesunggunghnya mempresentasikan bagaimana kesibukan aktivitas karirnya. Ia si sibuk projek, si penghubung (lihat Half Eleven PM), si rangkuman pribadi dalam momennya memposisikan sebuah ketokohan, hingga si depresi bingung-bimbang dalam mempertimbangkan keluhuran sebuah objek materi kehidupan untuk lebih memilah antara manusia atau non manusia. Rentan dirinya yang muda ia hadirkan dalam bidang motif di mana sekaligus selebrasi atas usia muda yang aktif. Lihat misal, motif-motif lengkungnya sarat akan sebuah kedinamisan, aktif bergerak, yang dari itu sama seperti karya sebelumnya sebagai upaya komunikasi. Atmosfer khas akan pop ternyata ia jadikan sebuah patologi atas kegelisahan berproses. Epang sedang hadir dalam tokoh kecil yang multi. Si visual yang menyaring  kontemplasinya sekaligus membeberkan visi, sebab ia punya kemauan kuat untuk tetap produktif.

Lanjut gigi, yang boleh diketahui dari Sebtian bahwasanya ia adalah Cobainisme. Ia terkagum-kagum atas spirit kreatif dedengkot grunge asal amerika bernama Kurt Cobain. Aksi yang semaunya sendiri, sembarangan, simple, sederhana namun pasti dan jelas. Begitu lainnya, seniman macam Basquiat, Eddie Harra, dan Bob Sick di mata sebtian adalah lelucon, ia mendapat hiburan sekaligus pemaknaan atas citraan visual tokoh-tokoh tadi. Ketika berdiskusi tentang apa-apa visual yang disukai, Sebtian hanya tertawa atas kekagumannya, sama seperti halnya ketika ia tertawai hasil kerjanya sendiri. Hal-hal ini yang menyebabkan titik berangkatnya dalam berkarya menjadi semau-maunya dan semungkin-mungkinnya. Sebtian pembaca yang pelaksana, membaca (melihat) hal-hal yang ia minati juga berkemuan merespon pengalaman (konsumsi informasi) dalam sebentuk konsep. Hasilnya banyak bersifat spontan dan sarat akan ideal semau gue dan bodo amat.

Sebtian membuka praktek ‘bedah visual’ dengan mengumpulkan jantung-jantung, tentu dari bedahan kepunyaan Cobain, Eddie Hara, atau juga S Teddy D. Tahap eksperimen visual ia bebaskan seada-adanya. Meluap dengan eksperimentasi teknik, baginya melukis adalah keheranan-keheranan. Satu contoh mewakili konsep adalah maksud apa ia tergabung dalam sebuah band bersama sekawanannya, John Tito dan Ibnu, mereka beri nama ‘Not A Woy’, jika dipermainkan lewat anagram akan mengasilkan bunyi ‘Yo Waton” (ya sembarangan), secara simbolis membeberkan lagi soal kesenimanan Sebtian. Kesembarangan-kesembarangan Tian, memuat konsep yang makro, termasuk sembarang atas kekonsistenannya. Tapi secara, ia telah sukses mengadirkan perjalanan eksperimennya dalam beberapa babak. Pernah ia menghadirkan jantung-jantung sebagai citraan atas wajah atau kepala. Babak berikutnya si Jantung (saat ini) jadi satu bagian antara yang mekanis dan natural. Jantung lewat pameran ini berdampingan dengan unsur-unsur mekanis sebagaimana yang dapat kita temui dalam sebuah piranti mesin (hardware), berikut ia lengkapi dengan potongan lain, misal kaki.

Sebtian begitu rajin (jika tak mau disebut kurang kerjaan) untuk hadir disana-sini dalam sebuah gelaran kesenian. Ia benar pengamat, terutama untuk gelaran kawan sendiri (jika tak mau disebut solidaritas). Disamping itu, Sebtian sedikit banyak tereferensi kerja-kerja biro indie, kelak ia jadikan cerita-cerita menarik ketika mendapatkan kesempatan untuk bertemu dan berbincang. Ia telah mencoba bermain metafor dengan apel pada pameran sebelumnya, kini sedang asik dengan kesimpelan-kesimpelan yang diinspirasi atas tokoh. Karyanya nampak tak begitu ramai sebagaimana sebelumnya dalam Apel, yang penuh dengan terror teknis lintas senjata (kuas, pensil, spidol, tipe x dll). Membuka lembar kanvas Sebtian  sama halnya mencoba membuka kembali cerita di buku “dari khaos ke khaosmos” Stanislaus Yangni. Tian memang menekankan eksperimentasi dan kreasi daripada penilaian yang berasal dari sudut pandang penonton karya atau penafsir.

Huhum Hambilly


*Artikel diterbitkan sebagai pengantar pameran Ervance & Sebtian di I AM Space

Tidak ada komentar:

Posting Komentar