collaborative mural
on progress for the next two man show exhibition (I AM Project)
Generasi Mudi Seni Kini
Generasi muda, umur produktif, usia matang, tenaga berlebih, bebas,
lepas, liar,… Muda adalah posisi di mana sekian beban ditanggungkan. Celakanya,
zaman senantiasa menagih apa-apa saja dari para muda untuk turut dalam festival
agung bernama ‘sejarah’. Dalam medan sosial seni, barangkali usia tidak menjadi
soal, masing-masing baik tua ataupun muda memiliki hak yang sama dalam berbagai
aspek: ruang, tema, isi, gaya dan sebagainya. Semua bebas, seniman bebas, bebas
sebagaimana pola-pola yang lumrah dalam kesenian. Kesenian lazim memperlakukan
usia tua sebagai bintang, makin tua makin jadi, seringkali popularitas seorang
seniman mampu saja bertahan hingga akhir hayat, bahkan makin menjadi setelah
kematiannya. Bagi seniman yang memiliki kesadaran akan ‘generasi’, usia bakal
jadi sensitif. Mereka hadir hendak membangun panggung, untuk membuktikan siapa
dirinya, kumpulannya, menampilkan karya-karya terbaik, yang tentu dengan sekian
tawaran pembedaan-pembedaan atas karya apa-apa saja yang pernah tercipta. Untuk
kemudian secara langsung dan tidak langsung berupaya menyerang para tua, hal
demikian sah.
Setiap masa, dalam satuan dekade misalnya, menawarkan berbagai bentuk
fenomena baru. Tiap fenomena memiliki daya khas lewat kehadirannya dalam sebuah
‘waktu’ tertentu. Demikian berbagai peristiwa direspon oleh berbagai macam
usia, seringkali usia muda tampil lebih agresif, meledak-ledak, untuk kemudian
berupaya menunjukan sikapnya dengan sesegera mungkin. Lalu, untuk apa musti
membedakan usia muda dengan usia tua. Tentunya karena terdapat jarak, dalam hal
ini adalah para pelaku waktu yang berbeda, sebab masing-masing pelaku generasi
memiliki keunikan tersendiri dari segala jenis perubahan situasi. Jadilah
sebuah kebolehan untuk mencoba membagi-bagi posisi seniman dari berbagai
generasi dalam rangka mencari nilai tawar masing-masing pelaku.
Kini di tahun 2016, para perupa generasi lahir di kisaran tahun 90-an
sedang asyik-asyiknya menggosip (membedah) baik laku maupun karya seniman
generasi sebelumnya. Dalam medan sosial seni rupa, sebutlah mereka, seniman
yang dimaksud, adalah generasi lahir era 80-an. Di Yogyakarta khususnya, tiap
tongkrongan para seniman muda lebih hangat dengan obrolan, misal, seperti apa
proyek terbaru kolektif seni Punkasila, apa karya terakhir Farid Stevy,
bagimana terobosan anyar Eko Nugroho, atau geliat apalagi yang ditawarkan Wok
The Rock dan kumpulannya. Boleh diposisikan bahwa panggung seni kini berhasil
menokohkan para seniman tadi. Indikasinya, para seniman macam Farid Stevy, Uji
Hahan beserta generasinya menjadi titik fokus perhatian generasi 90 di setiap
perhelatan kesenian. Di berbagai kesempatan, kebetulan mereka memiliki posisi
sentral dalam aktifitas seni mutaakhir. Ada semacam keharusan para kawanan
Farid Stevy untuk hadir lebih dominan. Ini seperti sebuah waktu yang
dipersembahkan sengaja untuk mereka, pilihannya; ambil atau tidak.
Secara siklus, mestinya, generasi sebelum Farid, kurun waktu 2000-an
adalah kepunyaan Ugo Untoro, Bob Sick, S Teddy dan sepermainannya. Satu dekade
sebelumnya, 1990-an adalah milik Heri Dono, Eddie Harra dan kawan-kawan.
Berikut sebelumnya milik G. Sidharta, Bagong Kussudiarjo dan sepaketnya. Seolah
masing-masing seniman memiliki masanya sendiri yang harus diperjuangkan sebisa
mungkin. Jadi tak heran apabila muncul sebuah ungkapan atau respon “sudah
saatnya habis”, “boleh hadir tapi hambar”. Tiap generasi mau tidak mau
diberikan waktu sendiri, mereka bakal berada di fase jaya jika mampu dan
mengalami masa hambar jika mau. Kini para seniman muda yang baru saja hadir dan
yang telah memulai perjalanan, baik sadar atau tidak, sebenarnya tengah
berproses menyumbang lini masa. Seperti sebuah keharusan, ini berarti panggung
tahun 2020-an, secara alami akan memposisikan seniman lahir 90-an berada dalam
sebuah bingkai kajian di berbagai disiplin. Bisa juga mereka tak mendapatkan
posisi tersebut, sebab masih didominasi generasi sebelumnya atau telah direbut
generasi setelahnya. Beban berlanjut.
---
Kemunculan kelompok (ruang kreatif) dengan menawarkan gagasan yang serba
alternatif menjadi medium hadirnya seniman-seniman baru. Menyimak semenjak
2010, beberapa kelompok lahir dan aktif lewat beragam kegiatan telah melahirkan
nama kolektif. Sebut saja Gigi Nyala, Roemansa Gilda, Minority Collective, Club
Etsa dan lain-lain. Masing-masing tampil secara terbuka yang kebanyakan
memiliki tawaran sebagai ruang berproses, untuk outputnya seringkali berupa
pameran. Masing-masing ruang juga bermaksud menghadirkan seniman (member)
tampil secara solo serta bergiliran. Bagi mereka momen akan diamini sebagai
permulaan. Kebanyakan pameran diberangkatkan dari ruang-ruang kecil yang memang jadi khasnya, seperti ruang seni
alternatif, warung kopi juga café.
Melihat ruang muda yang paling produktif saat ini, keberadaan kelompok
Ketjil Bergerak patut dipertimbangkan. Ketjil Bergerak bisa menjadi contoh
ideal sebuah komunitas. Secara unik mereka mengusung slogan bersifat
partisipatif “siapa saja yang muda, kreatif, berani, berdikari adalah kecil
bergerak!”. Dari slogannya saja seolah mengandung terror, di mana dapat
menanyakan ‘posisi’ atas publik, terutama kaum muda. Ketjil benar terasa telah
mempraktikkan strategi serba jitu.
Beberapa program kebanyakan hadir dengan konsep kolaborasi, siapa saja
diterima untuk datang dan pergi. Mereka mengkaji wilayah khas muda-mudi (urban) yang jarang
dibahas namun sesungguhnya perlu, sebagai contoh seni jalan, tato, musik,
bahkan sampai kajian marxisme.
Selanjutnya masih dilunaskan dengan berbagai aksi melalui kemasan proyek dengan
nuansa bermain. Lewat Ketjil, banyak hal (serius) berhasil dikemas dengan
enteng, khasnya dengan tipikal bahasa ala remaja gaul. Jangan salah, tujuannya
pun dalam koridor jelas. Walau nampaknya main-main namun sesungguhnya apa yang
mereka lakukan besar, yaitu “pergerakan sosial”.
Kehadiran berbagai komunitas alternatif tersebut menyebabkan hubungan
sosial antar komunitas. Mereka kerap tampil dalam suatu event sebagai
partisipan mewakili ruangnya sendiri. Jika satu komunitas menyelenggarakan
acara seringkali melibatkan para peserta dari komunitas lain. Komunitas seperti
menjadi sebuah kecenderungan. Jika mau ditakar, 80% lebih peserta event
(pameran) adalah mereka yang merupakan member komunitas tertentu, semua saling
terhubung dan masing-masing memiliki cipta khas tersendiri. Dari Gigi Nyala
misalnya, kebanyakan karya banyak diwarnai dengan gaya pop art - lowbrow art dengan mengambil subjek kebanyakan anak muda.
Sementara, Roemansa Gilda atau mereka yang kebanyakan berbasis fine-art (ISI),
akhir ini lebih cenderung ke surreal nan indah (lihat pameran “Alone, Together”
– Kelompok Sekilas, Taman Budaya Yogyakarta 2015), kebanyakan berdaya visual
pop. Dalam suatu gelaran, seringkali mereka tampil bersamaan. Komunitas A bisa
mencatut seniman dari komunitas B, C, dan lain-lain. Member dapat senantiasa
untuk untuk saling-singgah ruang. Sangat mungkin ada satu member yang jadi
bagian dari berbagai komunitas, seminimal mungkin pernah mengisi
program-program yang dihadirkan, baik peserta ataupun partner. Bisa dibilang,
generasi lahir 90 sedang giat-gianya dalam berproses, membertimbangkan berbagai
tindak laku yang kelak merangkum nasibnya sebagai seniman.
Dua Gigi: Ervance dan Sebtian
Gigi pertama, melihat pencapaian visual Ervance sebenarnya masih
meragukan. Kita memahami Ervance sejauh ini adalah sebagai orang yang banyak
bertanggung jawab atas kerja-kerja organisator suatu gelaran seni. Bisa
dibayangkan dalam satu momen misalnya, ketika ia menjadi ketua panitia pameran
Art For Orangutan di Jogja National Museum, 2015 . Karya macam apa yang
berhasil dipamerkan Ervance ketika harus berhadapan dengan aktifitas seperti
mengonsep acara, mengundang para peserta pameran, mencari kawan, partner
sekaligus sponsor. Belum lagi musti menangani soal publikasi dan sekian
embel-embel event. Pada saat itu ia menghasilkan karya lukis kanvas dengan
mengambil objek orangutan (realis) sekaligus menyertakan typography ala
caligraphy. Dari sana sebenarnya mulai terlihat bagaimana pegangan visual Ervance.
Sebentuk objek realis (kepala), untuk kemudian typografi ia jadikan siasat komunikatif sebab berupa teks. Meski karya
tersebut kurang maksimal, terutama dalam hal teknis terkait warna, yang jadi
serupa gambar belum selesai.
Sosok (kiprah) Ervance sendiri justru gambaran hal-hal yang nanggung,
belum tuntas sebagaimana kerja-kerja Ervance sendiri. Lihat bagimana pribadi
Ervance yang telah berhasil membangun ruang, tapi belum maksimal mengelolanya.
Ia juga telah berhasil membangun konsep visual, namun belum tuntas soal teknis.
Lalu apa menariknya dari ketidakselesian Ervance? Melihat Ervance baik sosok
dan karya adalah sebentuk perjalanan yang telah diketahui akhir tujuan. Sebagai
ilustrasi, ia pernah berangkat dari kota A ke B. Suatu hari teman menanyakan pengalaman
perjalannannya. Ervance ingin menyampaikan pengalaman tersebut ke seorang
kawan, namun ia tak kuasa untuk menceritakan proses atau pengalaman dalam
perjalanan tersebut, katakanlah muncul ‘misteri proses’. Ia seperti telah
melupakan, atau tak sadar dalam berproses, bisa jadi telah ketiduran saat
menempuh perjalanan. Ia berhasil datang ke kota B, tanpa kuasa yang bukan
berarti enggan dapat menceritakan kondisi jalan, pemandangan sekitar, atau
berapa kali bertemu jembatan. Sepertinya kerja visual Ervance akan jadi penting
ketika ia dapat merangkum proses apa-apa saja yang terjadi di ruangnya
geraknya. Ia telah dilabel.
Kehadiran karya Ervance dalam pameran ini sesunggunghnya
mempresentasikan bagaimana kesibukan aktivitas karirnya. Ia si sibuk projek, si
penghubung (lihat Half Eleven PM), si rangkuman pribadi dalam momennya
memposisikan sebuah ketokohan, hingga si depresi bingung-bimbang dalam
mempertimbangkan keluhuran sebuah objek materi kehidupan untuk lebih memilah
antara manusia atau non manusia. Rentan dirinya yang muda ia hadirkan dalam
bidang motif di mana sekaligus selebrasi atas usia muda yang aktif. Lihat
misal, motif-motif lengkungnya sarat akan sebuah kedinamisan, aktif bergerak,
yang dari itu sama seperti karya sebelumnya sebagai upaya komunikasi. Atmosfer
khas akan pop ternyata ia jadikan sebuah patologi atas kegelisahan berproses.
Epang sedang hadir dalam tokoh kecil yang multi. Si visual yang menyaring kontemplasinya sekaligus membeberkan visi,
sebab ia punya kemauan kuat untuk tetap produktif.
Lanjut gigi, yang boleh diketahui dari Sebtian bahwasanya ia adalah
Cobainisme. Ia terkagum-kagum atas spirit kreatif dedengkot grunge asal amerika bernama Kurt Cobain.
Aksi yang semaunya sendiri, sembarangan, simple, sederhana namun pasti dan
jelas. Begitu lainnya, seniman macam Basquiat, Eddie Harra, dan Bob Sick di
mata sebtian adalah lelucon, ia mendapat hiburan sekaligus pemaknaan atas
citraan visual tokoh-tokoh tadi. Ketika berdiskusi tentang apa-apa visual yang
disukai, Sebtian hanya tertawa atas kekagumannya, sama seperti halnya ketika ia
tertawai hasil kerjanya sendiri. Hal-hal ini yang menyebabkan titik
berangkatnya dalam berkarya menjadi semau-maunya dan semungkin-mungkinnya.
Sebtian pembaca yang pelaksana, membaca (melihat) hal-hal yang ia minati juga
berkemuan merespon pengalaman (konsumsi informasi) dalam sebentuk konsep.
Hasilnya banyak bersifat spontan dan sarat akan ideal semau gue dan bodo amat.
Sebtian membuka praktek ‘bedah visual’ dengan mengumpulkan
jantung-jantung, tentu dari bedahan kepunyaan Cobain, Eddie Hara, atau juga S
Teddy D. Tahap eksperimen visual ia bebaskan seada-adanya. Meluap dengan
eksperimentasi teknik, baginya melukis adalah keheranan-keheranan. Satu contoh
mewakili konsep adalah maksud apa ia tergabung dalam sebuah band bersama
sekawanannya, John Tito dan Ibnu, mereka beri nama ‘Not A Woy’, jika
dipermainkan lewat anagram akan mengasilkan bunyi ‘Yo Waton” (ya sembarangan),
secara simbolis membeberkan lagi soal kesenimanan Sebtian.
Kesembarangan-kesembarangan Tian, memuat konsep yang makro, termasuk sembarang
atas kekonsistenannya. Tapi secara, ia telah sukses mengadirkan perjalanan
eksperimennya dalam beberapa babak. Pernah ia menghadirkan jantung-jantung
sebagai citraan atas wajah atau kepala. Babak berikutnya si Jantung (saat ini)
jadi satu bagian antara yang mekanis dan natural. Jantung lewat pameran ini
berdampingan dengan unsur-unsur mekanis sebagaimana yang dapat kita temui dalam
sebuah piranti mesin (hardware), berikut ia lengkapi dengan potongan lain,
misal kaki.
Sebtian begitu rajin (jika tak mau disebut kurang kerjaan) untuk hadir
disana-sini dalam sebuah gelaran kesenian. Ia benar pengamat, terutama untuk
gelaran kawan sendiri (jika tak mau disebut solidaritas). Disamping itu, Sebtian
sedikit banyak tereferensi kerja-kerja biro indie, kelak ia jadikan cerita-cerita
menarik ketika mendapatkan kesempatan untuk bertemu dan berbincang. Ia telah
mencoba bermain metafor dengan apel pada pameran sebelumnya, kini sedang asik
dengan kesimpelan-kesimpelan yang diinspirasi atas tokoh. Karyanya nampak tak
begitu ramai sebagaimana sebelumnya dalam Apel, yang penuh dengan terror teknis
lintas senjata (kuas, pensil, spidol, tipe x dll). Membuka lembar kanvas
Sebtian sama halnya mencoba membuka
kembali cerita di buku “dari khaos ke khaosmos” Stanislaus Yangni. Tian memang
menekankan eksperimentasi dan kreasi daripada penilaian yang berasal dari sudut
pandang penonton karya atau penafsir.
Huhum Hambilly
*Artikel diterbitkan sebagai pengantar pameran Ervance & Sebtian di I AM Space
Tidak ada komentar:
Posting Komentar