Sedikit Fragmen, Album Tato
Hari ini kita
serba dimudahkan dalam berbagai hal mengenai ‘pertatoan’. Untuk mendapatkan
gambar tato, memilih studio, hadir dalam komunitas, datang ke event, menkonsumsi
pernak-pernik tentang tato, atau bahkan membuat tato itu sendiri. Populitas
pemakai tato kian meningkat drastis sejak satu dekade terakhir, para pemakainya
beragam usia serta lintas profesi. Tato hampir dapat ditemui di semua kalangan.
Di wilayah urban khususnya, tato sudah
bukan jadi barang asing, masyarakat perlahan menerima. Hal ini didukung oleh
mereka yang bertato (ditokohkan), di mana memiliki kiprah tersendiri dalam
lingkungan sosial masing-masing. Menteri sekelas Susi Pudjiastuti adalah contoh
paling konkret, yang turut mengangkat harkat dan martabat tato, atau bila
terlalu formal, boleh menyebut Jerinx SID sebagai contoh ideal, terutama untuk
kiprahnya di seputaran aktifitas anak muda. Kedua contoh menjadikan mereka
bertato diamini sebagai sosok penting, artinya tato tak menjadikannya gagal dalam
mencapai sesuatu. Kini tato menjadi hal biasa saja, umpamanya, ia sudah
dianggap sebagai aksesori penampilan, dipakai siapapun dan dapat hadir
dimanapun.
Ramainya dunia
pertatoan dipengaruhi oleh keberadaan komunitas. Komunitas memiliki peran yang
cukup sentral atas perkembangan tato. Sebab, olehnya, agenda-agenda tato
diinisasi dan dilangsungkan. Salah satu output
yang bisa dijadikan tolak ukur adalah hadirnya sebuah event tato. Di dalamnya
mencakup konten seperti tattoo war
(lomba tato yang dibuat pada saat acara berlangsung), tattoo show (pemilihan tato terbaik yang dibuat di luar acara), shop (produk: alat mentato ataupun
merchandise), berikut program lain yang tak terlepas unsur tato didalamnya.
Lewat komunitas, tato dapat menjadi medium berbagai kegiatan, seperti aksi
sosial, solidaritas, ekonomi kreatif, bahkan aktivisme hingga sikap politik.
Kehadiran komunitas tato pertama kali di Indonesia dimulai dari Java Tattoo
Club Indonesia (JTCI) pada 1997 di Yogyakarta. Diinisiasi oleh Athonk Sapto Raharjo
dengan member kebanyakan para seniman ISI (Institut Seni Indonesia) generasi 90-an
yang sarat akan citra pemberontakan macam punk.
Khusus untuk Java Tattoo, keberadaannya juga sebagai agen gerakan aktivisme
dalam rangka meruntuhkan dominasi Orba. Sebab, bagi mereka tato adalah bentuk
kebebasan berekspresi, mereka hendak memposisikan kembali tato sebagai warisan
budaya, sekaligus mengkampanyekan tato sebagai seni yang dinamis sesuai
zamannya (urban culture). Patut
diakui kehadiran Java Tattoo sebagai ruang, merupakan tindakan revolusioner
yang berdampak besar atas perkembangan tato kini.
Dinamika tato di
era 2000-an menghasilkan berbagai ragam yang boleh kita sebut sebagai komponen
tato. Ada komunitas tato, tattoo supply (produsen-distributor
alat tato), event, media (majalah), tattoo merchandise (clothing n
accessories), pengamat (kebanyakan mereka non komunitas, seperti kurator,
antropolog, sosiolog, dan psikolog). Untuk komunitas tato, sebagai contoh adalah
lahirnya Indonesian Subculture pada 2004 di Jakarta. Komunitas menaungi
berbagai member dari seluruh nusantara dengan menekankan kerja professional
terkait SOP (Standart Operational Procedure) dalam mentato. Sekaligus sebagai partner atas kegiatan-kegiatan dari
berbagai komunitas lain (regional) seperti Malang Tattoo Community, Surabaya
Tattoo Artist Community, Solo Tattoo Solidarity, Semarang Tattoo Artist, Bali
Tattoo Artist Club, Paguyuban Tattoo Bandung, Gerombolan Tukang Tato Yogyakarta,
dll. Memang posisi ISC dalam menaungi kegiatan komunitas lokal lebih terkesan simbolis,
sebab kebanyakan para member dari berbagi komunitas tato daerah merupakan
member ISC, ada rasa saling memiliki masing-masing member terhadap keberadaan
komunitas.
Sebagaimana
ruang, komunitas menjadi lalu lintas informasi ter-update (event berikut gosip personal member), informasi produk
terbaru (alat mentato: mesin tinta, jarum dll.), ruang belajar (terkait teknis
mentato), dan dialog atas sesama penato (kebanyakan mengambil objek terkait
pasar, seperti gambar yang sedang diminati atau ‘riset pasar’). Berbagai
informasi yang beredar memiliki kecenderungan ‘komunitas-sentris’ lewat medium perbincangan.
Sebab informasi khusus terkait tato kurang didukung media informasi yang
representatif juga partisipan informan yang cenderung pasif untuk menyasar publik
yang lebih luas. Sebelum akhirnya lumayan terbantu oleh kemunculan media alternatif
tato yang sampai saat ini merupakan satu-satunya, yaitu Magic Ink Tattoo Magazine, hadir semenjak 2009. Selanjutnya Magic Ink diposisikan sebagai aset
informasi tato seluruh nusantara.
Kerja Arsip, Pengkajian dan Isu oleh Java Tattoo Club
Belum ada kerja
dokumentasi terutama di medan subkultur (tato) sedisiplin Java Tattoo, dalam
hal ini yang berperan khusus adalah Athonk Sapto. Jika mau ditilik JTCI bukan
hanya sekedar komunitas tato yang berangkat dan berhenti di aktivitas mentato
saja. Diorganisir oleh Athonk, Java Tattoo merupakan jejak berbagai aktifitas seperti
seni rupa (art brut, lowbrow, comic),
indie music seperti punk dan rockabilly, Kustom Kulture
(modifikasi kendaraan bermotor klasik), pengkajian (lihat buku: Tato-Hatib Olong, Tato: Dwi Marianto dan
Syamsul Barry), hingga sosial politik (lihat: Festival Tato Istimewa 2011 dan Aksi
Tattoo Istimewa 2010). Semua terkemas rapi dalam berbagai dokumen (teks,
gambar, video) dan sejumlah kliping lengkap soal serba-seri tato yang terliput
oleh media massa. Sudah semestinya bahwa Java Tattoo, dalam waktu dekat atau
kelak dapat menghadirkan sebuah museum tato. Kehadiran ruang tersebut bakal
melunaskan segala pencapaian dan tentunya sumbangsih sejarah.
Dalam sebuah
artikel yang ditulis oleh Athonk sendiri, termuat dalam katalog Festival Tato Istimewa 2011, lewat artikel tersebut Athonk
menginformasikan secara ringkas sejarah Java Tattoo Club berikut gambaran umum
sejarah Tato di Indonesia. Ia membagi dalam tiga bab, yaitu, Seni Tato Modern di Indonesia, Kebangkitan Tato di Indonesia, dan Tato Pasca 1998. Kini lima tahun telah
berselang semenjak artikel tersebut diterbitkan. Lewat bab berikut, tulisan
bemaksud menambahkan rangkuman mengenai perjalanan Java Tattoo setelah 2010. Sebab,
penulis pribadi mulai terjun dan aktif berkomunitas terhitung semenjak 2009.
Hingga kini, barangkali dapat mewakili sebagai pegiat pelbagai aktivitas tato; membuat
event, video, mengelola majalah, hadir sebagai narasumber dan selalu tertarik
untuk mengamati sejumlah gejala terkait tato.
Saya dan Java Tattoo, Setelah 2010
Festival Tattoo
Istimewa yang digelar pada 2011 merupakan gelaran paling besar dan sukses sepanjang
kiprah Java Tattoo. Pada saat itu bertempat di Jogja National Museum (JNM), dan
untuk kali pertama hadir di ruang semi-outdoor dengan format ticketing. Sebelumnya acara tato lebih
banyak hadir dengan kemasan yang lebih minim, seperti di café ataupun di mall dan
tentunya dengan durasi yang terbatas, biasanya hanya berlangsung sekitar 6 jam.
Acara Festival Tattoo Istimewa berlangsung selama 2 hari, menjadi pemicu yang
memformulasikan format baru atas gelaran-gelaran tato yang dihadirkan setelahnya.
Secara umum menghasilkan sebuah pattern:
berdiri di ruang sendiri (independent
event), terdapat tattoo war-tattoo show-performance body art dan didukung
oleh banyak stand partisipan (komunitas,shop,sponsor,dll). Pola acara
sebagaimana sering kita jumpai pada saat acara berlangsung akhir ini kurang-lebihnya
dimulai dari kerja Java Tattoo. Java Tattoo telah membangun sebuah pola, yang
kemudian dilanjutkan komunitas lain dengan kemasan berbeda-beda, pada intinya
tetap sama.
Dalam pengamatan
saya, Java Tattoo tampil secara fleksibel ketika menghadirkan sebuah acara. Dari
catatan lini-masa mereka kerap
memilih ruang di club atau cafe, sebagai contoh dalam dekade 2000-an kebanyakan
mengambil lokasi di kafe, terutama Liqud
Jogja, yang seolah telah jadi agenda tahunan. Pada medio akhir dekade 2000,
acara tato lebih menekankan pada konten tattoo show, entah pertimbangan ruang
atau memang tattoo war belum banyak diminati. Gambarannya tattoo show lebih
mendominasi acara sebelum tato istimewa digelar di 2011. Java Tattoo menjadi
garda depan dalam mengolah ruang dan merespon isu. Beberapa aktifitas bisa
dibilang cukup strategis dalam mempopulerkan tato. Sebagai contoh mereka kerap
menghadirkan (bekerja sama) dengan beberapa personal atau grup yang cukup
berpengaruh. Lewat panggung pernah muncul The Hydrant, Devildice, Shaggydog,
Sangkakala, MC Joddy Bejo dan lain-lain. Begitu juga, lewat pendalaman
estetika, pernah melibatkan Farah Wardani, Grace Samboh, Tri Handoko dan
beberapa tokoh lainnya.
Belum lama, dalam
acara tattoo contest “International Leopard Day 2015”, di Oxenfree Café,
melibatkan juri Kelly S. dari pengajar pasca sarjana, Cross Cultural and
Religious Studies, UGM. Hal ini bermaksud mempertegas atas permasalahan yang
kerap muncul di medan tato, yaitu seringkali terdapat komplain atas hasil
penilaian juri. Seperti yang disampaikan Athonk “apa lagi yang mau diragukan
dari sesorang yang memiliki kapasitas penilaian artisik, mereka ahli di
bidangnya”, di sini argumen terpatahkan bahwasanya juri idealnya juga penato.
Mengenai penjurian memang cukup sensitif, hal ini sempat saya temui ketika
berbincang dengan salah satu redaktur Magic
Ink, Bagus Ferry, ia kerap menghadirkan event yang kebetulan berhasil
memenangkan kawan dekatnya, Kink Tattoo Bali, dengan begitu muncul suara “yang
menang orang-orangnya sendiri”. Tak berhenti di situ, Ferry cukup lega ketika penato Kink juga mendapat
penghargaan lewat event di luar Magic Ink.
Meski tak menjadi masalah besar, paling tidak akhirnya mendapat pengakuan bahwa
si penato memang unggul.
Java Tattoo tetap
bergerak sebagai ruang eksperimen. Pada 2013, bertempat di XT Square, mereka
mengemas sebuah event bertema batik. Dengan berbagai ketentuan yang sebelumnya
telah di-sounding lewat ruang yang
paling ramai, grup facebook. Kebetulan saya diberi kesempatan sebagi juri
mewakili Magic Ink, lalu Sekar Sari dari duta batik Jogja, belum
lama menjadi aktor film Siti yang meraih
banyak penghargaan, kemudian Hendra Blangkon, seniman yang juga vokalis band glam rock Sangkakala. Lewat tema batik,
sebenarnya Java Tattoo secara tak langsung mempertanyakan kapasitas para
peserta Tattoo War, terutama dalam hal konsep (pengetahuan). Dari hasil tato yang
terbuat, sekitar 25-an peserta, memang benar kebanyakan para masyarakat (penato)
belum paham betul soal konsep karya batik. Kejadiannya, masih banyak yang belum
mengetahui apa itu motif batik, membedakannya mana kategori batik atau hanya
sekedar ornamen. Bagaimana motif batik dikombinasikan dengan gaya tato tertentu,
juga bagaimana penato tertuntut harus meluweskan objek tato di sebuah media
kulit (anatomi tubuh). Hasilnya kurang memuaskan, melenceng dari konsep.
Festival tato batik, bagi saya masih menjadi case hingga kini. Khususnya adalah soal bagaimana para penato
merangkum dan membangun kekuatan visual agar cipta tatonya lebih unggul dan
berpotensi mendapatkan nomer. Para penato kita masih kurang dalam memahami
konsep karya dan kurang siap untuk mengeksplor gambar yang non konvensional.
Beberapa kegiatan
berikutnya, Java Tattoo masih menghadirkan konsep menarik. Meski kurang
mengundang massa yang cukup besar, tapi tak menjadi soal sebab pertimbangan ruang
yang memang kecil. Java Tattoo menyajikan “International Leopard Day 2015” di
dalamnya mengusung tema tato leopard. Acara menjadi selebrasi atas pemukiman subculture yang ecletic. Seperti rockabilly, pin up dan berbagai komponen khas
fashion. Terbukti Java Tattoo menghasilkan acara, seminimal setahun sekali.
Inilah konsistensi yang dilanjutkan Athonk sebagaimana pernah ia tulis “tahun
demi tahun Java Tatto menggelar acara tahunan, konsistensi inilah sangat
membantu perkembangan seni tato dan kesadaran masyarakat untuk menerima seni
tato sebagai salah satu budaya”.
Memang Java Tattoo
tak segemilang di medio akhir 2000-an yang mencapai puncaknya di 2011. Dengan
tonggaknya yang popular berupa tattoo war. Semakin kesini, saya melihat
pergeseran teman-teman tato, terutama di wilayah kota, mulai bergeser untuk
memperhitungkan isi. Maksudnya, tattoo war bukanlah menjadi acara utama meski
pesertanya tetap bergairah. Ada pergeseren mengesampingkan tattoo war, ia bukan
sebagai konten utama, namun lebih ke isi - muatan yang ingin dicapi si
penggagasnya. Sebagai contoh komunitas Gento (Gerombolan Tukang Tato), yang
sudah dua kali menggelar acara tahunan Tattoo
Merdeka. Mengambil tema khusus; 2014 dengan charity for veteran, 2015 menanam
tjinta untuk isu lingkungan hidup. Akhirnya tattoo war lebih bersifat
dekoratif. Barangkali, kedepan pergeseran kecenderungan acara tato sangat berpotensi
besar oleh kerja industri. Jadi bagaimana akhirnya ‘brand’ industri berpengaruh besar baik secara objek (tato) maupun
non objek (konten acara).
Keistimewaan Jogja, Keistimewaan Tato
Adalah sebuah
pertanyaan mengapa Java Tattoo menghadirkan kembali tema acara yang sama, yaitu
mengenai ‘keistimewaan jogja’. Apakah bermaksud mengulang kesuksesan
sebagaimana 2011, ataukah ada ‘pr’ yang belum selesai dari event sebelumnya
yang mau tak mau harus dituntaskan, mungkin juga tato istimewa adalah gelaran (sebuah
nama) yang berkelanjutan. Sebab, perihal tema sexy saat ini mestinya ‘ketidakistimewaan jogja’. Seperti isu-isu yang
muncul atas maraknya pembangunan hotel, mall dan semakin terbatasnya ruang publik.
Tengok gerakan “Jogja Ora di Dol” atau reaksi terbaru atas munculnya tafsir
kota lewat “Jogja Intolerance City” (lihat karya poster Anti-Tank). Aksi
tersebut mengingat berbagai tindakan baik kelompok ormas atau militer yang
melarang banyaknya kegiatan seni dan forum diskusi. Lalu, apa yang akan
dilakukan Java Tattoo Club lewat tema keistimewaan jogja mengingat bingkai
panjang historisnya sebagai agen perubahan dan kampanye kebebasan berekspresi.
Kemungkinan tema
‘keistimewaan jogja’ justru merupakan sikap kritis atas upaya mengistimewakan
kembali Jogja yang kian carut. Simbolisasi Haba hadir sebagai medium sekian sikap
berbagai lapisan masyarakat, terutama bagi mereka yang optimis dengan Jogja –
kaum romantisme. Gelaran Tato Istimewa bisa jadi sebagai bahan riset atas publik,
untuk melihat dinamika (pemaknaan) kecintaan masyarakat - kebanggaan masyarakat
kepada Jogja. Tato istimewa, dan segala simbol Haba tentunya bakal membuka
banyak kemungkinan, bersiap dengan pro-kontra atas respon masyarakat. Masih relevankah
atau ketinggalan jamankah? Apakah event akan menjadi bentuk nostalgia atas yang
indah-baik mengenai Jogja. Malah justru menjadi perenungan tersendiri, berikut
mungkin masih menjadi selebrasi atas apa-apa yang bisa dibanggakan dan diistemewakan.
Saya teringat perupa
muda dan penato yang melejit 5 tahun belakangan, Nandi Yoga. Ia punya cara
sendiri dalam membingkai Jogja lewat sajian flash
tattoo (gambar sebelum tahap proses tato/template). Lewat karyanya ia
menghadirkan (menawarkan) tato dengan nuansa khas Jogja. Menurut saya, ia punya
optimisme untuk menghadirkan tato Jogja (jawa) seperti yang pernah ia ungkapkan
“di Bali ada banyak tato yang khas Bali, penari, leak dan sebagainya, jogja
semestinya punya, dan itu harus ada”. Sepenangkap saya, Yoga hendak membangun
tema itu. Hal tersebut telah ia aktualkan. Yoga menaruh simbol macam Haba,
begitu juga objek-objek khas, lengkap dengan citra kesederhanaan. Dalam salah
satu gambar kerpa ditemui, misal dengan pakaian surjan, blangkon, keris,
andong, sepeda ontel, jalanan lengang juga terkadang lampu-lampu jogja.
Segala tentang
ke Jogja-Jogjaan, baik lewat Java Tattoo atau sebagaimana sikap yang dilakukan Nandi
Yoga kiranya utama untuk memuat nilai lokal nan beradab. Simbol dan berbagai
material yang diamini sebagai identitas tentunya dapat mempresentasikan moral
serta nilai luhur kemanusiaan. Tato Haba adalah simbol yang disimbolkan. Festival
Tattoo Istimewa akhirnya menjadi titik temu atas apa-apa saja yang boleh
disebut ‘kontemporer’.
Huhum Hambilly
Pegiat media subkultur
*) artikel ini diterbitkan dalam katalog "Festival Tattoo Istimewa 2016, Java Tattoo Club Indonesia"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar