Jumat, 24 Juni 2016

Sedikit Fragmen, Album Tato


Sedikit Fragmen, Album Tato

Hari ini kita serba dimudahkan dalam berbagai hal mengenai ‘pertatoan’. Untuk mendapatkan gambar tato, memilih studio, hadir dalam komunitas, datang ke event, menkonsumsi pernak-pernik tentang tato, atau bahkan membuat tato itu sendiri. Populitas pemakai tato kian meningkat drastis sejak satu dekade terakhir, para pemakainya beragam usia serta lintas profesi. Tato hampir dapat ditemui di semua kalangan. Di wilayah urban khususnya, tato sudah bukan jadi barang asing, masyarakat perlahan menerima. Hal ini didukung oleh mereka yang bertato (ditokohkan), di mana memiliki kiprah tersendiri dalam lingkungan sosial masing-masing. Menteri sekelas Susi Pudjiastuti adalah contoh paling konkret, yang turut mengangkat harkat dan martabat tato, atau bila terlalu formal, boleh menyebut Jerinx SID sebagai contoh ideal, terutama untuk kiprahnya di seputaran aktifitas anak muda. Kedua contoh menjadikan mereka bertato diamini sebagai sosok penting, artinya tato tak menjadikannya gagal dalam mencapai sesuatu. Kini tato menjadi hal biasa saja, umpamanya, ia sudah dianggap sebagai aksesori penampilan, dipakai siapapun dan dapat hadir dimanapun.

Ramainya dunia pertatoan dipengaruhi oleh keberadaan komunitas. Komunitas memiliki peran yang cukup sentral atas perkembangan tato. Sebab, olehnya, agenda-agenda tato diinisasi dan dilangsungkan. Salah satu output yang bisa dijadikan tolak ukur adalah hadirnya sebuah event tato. Di dalamnya mencakup konten seperti tattoo war (lomba tato yang dibuat pada saat acara berlangsung), tattoo show (pemilihan tato terbaik yang dibuat di luar acara), shop (produk: alat mentato ataupun merchandise), berikut program lain yang tak terlepas unsur tato didalamnya. Lewat komunitas, tato dapat menjadi medium berbagai kegiatan, seperti aksi sosial, solidaritas, ekonomi kreatif, bahkan aktivisme hingga sikap politik. Kehadiran komunitas tato pertama kali di Indonesia dimulai dari Java Tattoo Club Indonesia (JTCI) pada 1997 di Yogyakarta. Diinisiasi oleh Athonk Sapto Raharjo dengan member kebanyakan para seniman ISI (Institut Seni Indonesia) generasi 90-an yang sarat akan citra pemberontakan macam punk. Khusus untuk Java Tattoo, keberadaannya juga sebagai agen gerakan aktivisme dalam rangka meruntuhkan dominasi Orba. Sebab, bagi mereka tato adalah bentuk kebebasan berekspresi, mereka hendak memposisikan kembali tato sebagai warisan budaya, sekaligus mengkampanyekan tato sebagai seni yang dinamis sesuai zamannya (urban culture). Patut diakui kehadiran Java Tattoo sebagai ruang, merupakan tindakan revolusioner yang berdampak besar atas perkembangan tato kini.  

Dinamika tato di era 2000-an menghasilkan berbagai ragam yang boleh kita sebut sebagai komponen tato. Ada komunitas tato, tattoo supply (produsen-distributor alat tato), event, media (majalah), tattoo merchandise (clothing n accessories), pengamat (kebanyakan mereka non komunitas, seperti kurator, antropolog, sosiolog, dan psikolog). Untuk komunitas tato, sebagai contoh adalah lahirnya Indonesian Subculture pada 2004 di Jakarta. Komunitas menaungi berbagai member dari seluruh nusantara dengan menekankan kerja professional terkait SOP (Standart Operational Procedure) dalam mentato. Sekaligus sebagai partner atas kegiatan-kegiatan dari berbagai komunitas lain (regional) seperti Malang Tattoo Community, Surabaya Tattoo Artist Community, Solo Tattoo Solidarity, Semarang Tattoo Artist, Bali Tattoo Artist Club, Paguyuban Tattoo Bandung, Gerombolan Tukang Tato Yogyakarta, dll. Memang posisi ISC dalam menaungi kegiatan komunitas lokal lebih terkesan simbolis, sebab kebanyakan para member dari berbagi komunitas tato daerah merupakan member ISC, ada rasa saling memiliki masing-masing member terhadap keberadaan komunitas.

Sebagaimana ruang, komunitas menjadi lalu lintas informasi ter-update (event berikut gosip personal member), informasi produk terbaru (alat mentato: mesin tinta, jarum dll.), ruang belajar (terkait teknis mentato), dan dialog atas sesama penato (kebanyakan mengambil objek terkait pasar, seperti gambar yang sedang diminati atau ‘riset pasar’). Berbagai informasi yang beredar memiliki kecenderungan ‘komunitas-sentris’ lewat medium perbincangan. Sebab informasi khusus terkait tato kurang didukung media informasi yang representatif juga partisipan informan yang cenderung pasif untuk menyasar publik yang lebih luas. Sebelum akhirnya lumayan terbantu oleh kemunculan media alternatif tato yang sampai saat ini merupakan satu-satunya, yaitu Magic Ink Tattoo Magazine, hadir semenjak 2009. Selanjutnya Magic Ink diposisikan sebagai aset informasi tato seluruh nusantara.

Kerja Arsip, Pengkajian dan Isu oleh Java Tattoo Club

Belum ada kerja dokumentasi terutama di medan subkultur (tato) sedisiplin Java Tattoo, dalam hal ini yang berperan khusus adalah Athonk Sapto. Jika mau ditilik JTCI bukan hanya sekedar komunitas tato yang berangkat dan berhenti di aktivitas mentato saja. Diorganisir oleh Athonk, Java Tattoo merupakan jejak berbagai aktifitas seperti seni rupa (art brut, lowbrow, comic), indie music seperti punk dan rockabilly, Kustom Kulture (modifikasi kendaraan bermotor klasik), pengkajian (lihat buku: Tato-Hatib Olong, Tato: Dwi Marianto dan Syamsul Barry), hingga sosial politik (lihat: Festival Tato Istimewa 2011 dan Aksi Tattoo Istimewa 2010). Semua terkemas rapi dalam berbagai dokumen (teks, gambar, video) dan sejumlah kliping lengkap soal serba-seri tato yang terliput oleh media massa. Sudah semestinya bahwa Java Tattoo, dalam waktu dekat atau kelak dapat menghadirkan sebuah museum tato. Kehadiran ruang tersebut bakal melunaskan segala pencapaian dan tentunya sumbangsih sejarah.

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Athonk sendiri, termuat dalam katalog Festival Tato Istimewa 2011, lewat artikel tersebut Athonk menginformasikan secara ringkas sejarah Java Tattoo Club berikut gambaran umum sejarah Tato di Indonesia. Ia membagi dalam tiga bab, yaitu, Seni Tato Modern di Indonesia, Kebangkitan Tato di Indonesia, dan Tato Pasca 1998. Kini lima tahun telah berselang semenjak artikel tersebut diterbitkan. Lewat bab berikut, tulisan bemaksud menambahkan rangkuman mengenai perjalanan Java Tattoo setelah 2010. Sebab, penulis pribadi mulai terjun dan aktif berkomunitas terhitung semenjak 2009. Hingga kini, barangkali dapat mewakili sebagai pegiat pelbagai aktivitas tato; membuat event, video, mengelola majalah, hadir sebagai narasumber dan selalu tertarik untuk mengamati sejumlah gejala terkait tato.

Saya dan Java Tattoo, Setelah 2010

Festival Tattoo Istimewa yang digelar pada 2011 merupakan gelaran paling besar dan sukses sepanjang kiprah Java Tattoo. Pada saat itu bertempat di Jogja National Museum (JNM), dan untuk kali pertama hadir di ruang semi-outdoor dengan format ticketing. Sebelumnya acara tato lebih banyak hadir dengan kemasan yang lebih minim, seperti di café ataupun di mall dan tentunya dengan durasi yang terbatas, biasanya hanya berlangsung sekitar 6 jam. Acara Festival Tattoo Istimewa berlangsung selama 2 hari, menjadi pemicu yang memformulasikan format baru atas gelaran-gelaran tato yang dihadirkan setelahnya. Secara umum menghasilkan sebuah pattern: berdiri di ruang sendiri (independent event), terdapat tattoo war-tattoo show-performance body art dan didukung oleh banyak stand partisipan (komunitas,shop,sponsor,dll). Pola acara sebagaimana sering kita jumpai pada saat acara berlangsung akhir ini kurang-lebihnya dimulai dari kerja Java Tattoo. Java Tattoo telah membangun sebuah pola, yang kemudian dilanjutkan komunitas lain dengan kemasan berbeda-beda, pada intinya tetap sama.

Dalam pengamatan saya, Java Tattoo tampil secara fleksibel ketika menghadirkan sebuah acara. Dari catatan lini-masa mereka kerap memilih ruang di club atau cafe, sebagai contoh dalam dekade 2000-an kebanyakan mengambil lokasi di kafe, terutama Liqud Jogja, yang seolah telah jadi agenda tahunan. Pada medio akhir dekade 2000, acara tato lebih menekankan pada konten tattoo show, entah pertimbangan ruang atau memang tattoo war belum banyak diminati. Gambarannya tattoo show lebih mendominasi acara sebelum tato istimewa digelar di 2011. Java Tattoo menjadi garda depan dalam mengolah ruang dan merespon isu. Beberapa aktifitas bisa dibilang cukup strategis dalam mempopulerkan tato. Sebagai contoh mereka kerap menghadirkan (bekerja sama) dengan beberapa personal atau grup yang cukup berpengaruh. Lewat panggung pernah muncul The Hydrant, Devildice, Shaggydog, Sangkakala, MC Joddy Bejo dan lain-lain. Begitu juga, lewat pendalaman estetika, pernah melibatkan Farah Wardani, Grace Samboh, Tri Handoko dan beberapa tokoh lainnya.

Belum lama, dalam acara tattoo contest “International Leopard Day 2015”, di Oxenfree Café, melibatkan juri Kelly S. dari pengajar pasca sarjana, Cross Cultural and Religious Studies, UGM. Hal ini bermaksud mempertegas atas permasalahan yang kerap muncul di medan tato, yaitu seringkali terdapat komplain atas hasil penilaian juri. Seperti yang disampaikan Athonk “apa lagi yang mau diragukan dari sesorang yang memiliki kapasitas penilaian artisik, mereka ahli di bidangnya”, di sini argumen terpatahkan bahwasanya juri idealnya juga penato. Mengenai penjurian memang cukup sensitif, hal ini sempat saya temui ketika berbincang dengan salah satu redaktur Magic Ink, Bagus Ferry, ia kerap menghadirkan event yang kebetulan berhasil memenangkan kawan dekatnya, Kink Tattoo Bali, dengan begitu muncul suara “yang menang orang-orangnya sendiri”. Tak berhenti di situ, Ferry cukup  lega ketika penato Kink juga mendapat penghargaan lewat event di luar Magic Ink. Meski tak menjadi masalah besar, paling tidak akhirnya mendapat pengakuan bahwa si penato memang unggul.  

Java Tattoo tetap bergerak sebagai ruang eksperimen. Pada 2013, bertempat di XT Square, mereka mengemas sebuah event bertema batik. Dengan berbagai ketentuan yang sebelumnya telah di-sounding lewat ruang yang paling ramai, grup facebook. Kebetulan saya diberi kesempatan sebagi juri mewakili Magic Ink,  lalu Sekar Sari dari duta batik Jogja, belum lama  menjadi aktor film Siti yang meraih banyak penghargaan, kemudian Hendra Blangkon, seniman yang juga vokalis band glam rock Sangkakala. Lewat tema batik, sebenarnya Java Tattoo secara tak langsung mempertanyakan kapasitas para peserta Tattoo War, terutama dalam hal konsep (pengetahuan). Dari hasil tato yang terbuat, sekitar 25-an peserta, memang benar kebanyakan para masyarakat (penato) belum paham betul soal konsep karya batik. Kejadiannya, masih banyak yang belum mengetahui apa itu motif batik, membedakannya mana kategori batik atau hanya sekedar ornamen. Bagaimana motif batik dikombinasikan dengan gaya tato tertentu, juga bagaimana penato tertuntut harus meluweskan objek tato di sebuah media kulit (anatomi tubuh). Hasilnya kurang memuaskan, melenceng dari konsep. Festival tato batik, bagi saya masih menjadi case hingga kini. Khususnya adalah soal bagaimana para penato merangkum dan membangun kekuatan visual agar cipta tatonya lebih unggul dan berpotensi mendapatkan nomer. Para penato kita masih kurang dalam memahami konsep karya dan kurang siap untuk mengeksplor gambar yang non konvensional.

Beberapa kegiatan berikutnya, Java Tattoo masih menghadirkan konsep menarik. Meski kurang mengundang massa yang cukup besar, tapi tak menjadi soal sebab pertimbangan ruang yang memang kecil. Java Tattoo menyajikan “International Leopard Day 2015” di dalamnya mengusung tema tato leopard. Acara menjadi selebrasi atas pemukiman subculture yang ecletic. Seperti rockabilly, pin up dan berbagai komponen khas fashion. Terbukti Java Tattoo menghasilkan acara, seminimal setahun sekali. Inilah konsistensi yang dilanjutkan Athonk sebagaimana pernah ia tulis “tahun demi tahun Java Tatto menggelar acara tahunan, konsistensi inilah sangat membantu perkembangan seni tato dan kesadaran masyarakat untuk menerima seni tato sebagai salah satu budaya”.

Memang Java Tattoo tak segemilang di medio akhir 2000-an yang mencapai puncaknya di 2011. Dengan tonggaknya yang popular berupa tattoo war. Semakin kesini, saya melihat pergeseran teman-teman tato, terutama di wilayah kota, mulai bergeser untuk memperhitungkan isi. Maksudnya, tattoo war bukanlah menjadi acara utama meski pesertanya tetap bergairah. Ada pergeseren mengesampingkan tattoo war, ia bukan sebagai konten utama, namun lebih ke isi - muatan yang ingin dicapi si penggagasnya. Sebagai contoh komunitas Gento (Gerombolan Tukang Tato), yang sudah dua kali menggelar acara tahunan Tattoo Merdeka. Mengambil tema khusus; 2014 dengan charity for veteran, 2015 menanam tjinta untuk isu lingkungan hidup. Akhirnya tattoo war lebih bersifat dekoratif. Barangkali, kedepan pergeseran kecenderungan acara tato sangat berpotensi besar oleh kerja industri. Jadi bagaimana akhirnya ‘brand’ industri berpengaruh besar baik secara objek (tato) maupun non objek (konten acara).

Keistimewaan Jogja, Keistimewaan Tato

Adalah sebuah pertanyaan mengapa Java Tattoo menghadirkan kembali tema acara yang sama, yaitu mengenai ‘keistimewaan jogja’. Apakah bermaksud mengulang kesuksesan sebagaimana 2011, ataukah ada ‘pr’ yang belum selesai dari event sebelumnya yang mau tak mau harus dituntaskan, mungkin juga tato istimewa adalah gelaran (sebuah nama) yang berkelanjutan. Sebab, perihal tema sexy saat ini mestinya ‘ketidakistimewaan jogja’. Seperti isu-isu yang muncul atas maraknya pembangunan hotel, mall dan semakin terbatasnya ruang publik. Tengok gerakan “Jogja Ora di Dol” atau reaksi terbaru atas munculnya tafsir kota lewat “Jogja Intolerance City” (lihat karya poster Anti-Tank). Aksi tersebut mengingat berbagai tindakan baik kelompok ormas atau militer yang melarang banyaknya kegiatan seni dan forum diskusi. Lalu, apa yang akan dilakukan Java Tattoo Club lewat tema keistimewaan jogja mengingat bingkai panjang historisnya sebagai agen perubahan dan kampanye kebebasan berekspresi.

Kemungkinan tema ‘keistimewaan jogja’ justru merupakan sikap kritis atas upaya mengistimewakan kembali Jogja yang kian carut. Simbolisasi Haba hadir sebagai medium sekian sikap berbagai lapisan masyarakat, terutama bagi mereka yang optimis dengan Jogja – kaum romantisme. Gelaran Tato Istimewa bisa jadi sebagai bahan riset atas publik, untuk melihat dinamika (pemaknaan) kecintaan masyarakat - kebanggaan masyarakat kepada Jogja. Tato istimewa, dan segala simbol Haba tentunya bakal membuka banyak kemungkinan, bersiap dengan pro-kontra atas respon masyarakat. Masih relevankah atau ketinggalan jamankah? Apakah event akan menjadi bentuk nostalgia atas yang indah-baik mengenai Jogja. Malah justru menjadi perenungan tersendiri, berikut mungkin masih menjadi selebrasi atas apa-apa yang bisa dibanggakan dan diistemewakan.

Saya teringat perupa muda dan penato yang melejit 5 tahun belakangan, Nandi Yoga. Ia punya cara sendiri dalam membingkai Jogja lewat sajian flash tattoo (gambar sebelum tahap proses tato/template). Lewat karyanya ia menghadirkan (menawarkan) tato dengan nuansa khas Jogja. Menurut saya, ia punya optimisme untuk menghadirkan tato Jogja (jawa) seperti yang pernah ia ungkapkan “di Bali ada banyak tato yang khas Bali, penari, leak dan sebagainya, jogja semestinya punya, dan itu harus ada”. Sepenangkap saya, Yoga hendak membangun tema itu. Hal tersebut telah ia aktualkan. Yoga menaruh simbol macam Haba, begitu juga objek-objek khas, lengkap dengan citra kesederhanaan. Dalam salah satu gambar kerpa ditemui, misal dengan pakaian surjan, blangkon, keris, andong, sepeda ontel, jalanan lengang juga terkadang lampu-lampu jogja.

Segala tentang ke Jogja-Jogjaan, baik lewat Java Tattoo atau sebagaimana sikap yang dilakukan Nandi Yoga kiranya utama untuk memuat nilai lokal nan beradab. Simbol dan berbagai material yang diamini sebagai identitas tentunya dapat mempresentasikan moral serta nilai luhur kemanusiaan. Tato Haba adalah simbol yang disimbolkan. Festival Tattoo Istimewa akhirnya menjadi titik temu atas apa-apa saja yang boleh disebut ‘kontemporer’.

Huhum Hambilly
Pegiat media subkultur

*) artikel ini diterbitkan dalam katalog "Festival Tattoo Istimewa 2016, Java Tattoo Club Indonesia"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar