Animator | Illustrator | Painter
“banyak orang terjebak dalam penafsiran local taste, local taste tidak
harus melulu dengan iconic semacam wayang, banyak hal yang dapat di sajikan
melalui local taste, dan disitulah kreatifitas kita ditantang”
Sepenggal kalimat di atas adalah
buah ucap pria subur kelahiran tanah andalas, sesekali dengan murah senyum dan malu-malu menceritakan perjalanan karya-nya,
tapi sebenarnya apakah keindahan perlu untuk di ceritakan, apakah buah karya
tak mampu untuk menjelaskan, oke! apapun itu yang jelas kedua-nya perlu untuk
dikabarkan, maka dikabarkan dari area ‘YK’ seorang seniman rupa bernama Diki
Leos.
Awal karir berkarya dimulai dari
awal dekade 2000-an, tertanda dengan menempuh pendidikan formal di dua kampus
sekaligus, Akademi Desain Visi Yogyakarta dan Institute Seni Indonesia. Selama kurun
waktu 5 tahun pertama, dia fokus menjejal materi dan terus menjelajah masa
pengkaryaan, hingga di sekitar 2005 ia dihadapkan pada momentum yang sangat
berpengaruh dengan karya-nya sampai sejauh ini. Tahun itu ia dikenalkan dengan
karya-karya Robert Wiliams, beliau
adalah pendiri ‘Juxtapoz, Art &
Culture Magazine’, lantas diki benar-benar terinspirasi, bagaimana mungkin,
ya karena diki memang menaruh ketertarikan khusus akan gambar-gambar kendaraan
berikut beragam nuansa yang mampu disajikan, dan melalui momentum ini dia lebih
spesifik menonjolkan karya bertema mesin.
Diki memahami kustom kulture
lebih ke hasil karya seni seniman kustom,
seperti lowbrow art, pinstripe, painting,
sign & lettering, yang memang secara material adalah karya rupa. Selain
itu kesukaan-nya akan dunia fantasi film, animasi, kartun balap, apapun yang ia
suka sangat mempengaruhi hasil karya-nya. Karya adalah kebebasan-nya, ada juga seperti persoalan sekitar, dinamika
masyarakat, tren dan gossip yang beredar, akan diamini menjadi imaji.
Menurutnya gambarnya menyampaikan apa yang dia bicarakan. Tambahnya “aku selalu merasa terpancing untuk terus
berkarya, ketika ia bersua dengan video game dan film animasi”.
Soal karya kita tidak bisa
menampik, bahwa banyak terinspirasi oleh tokoh luar negeri, namun kita memiliki
banyak alternatif, kita harus mampu meng-sinkronkan antara diri kita dengan si
inspirator, karena masing-masing berada di iklim yang berbeda. Misal sebut saja
karya harus memiliki citra rasa lokal, yaitu mampu mereprentasikan diri sendiri
berikut dengan lingkungan, tapi banyak yang masih terjebak menafsir-kan lokal
dengan objek wayang dan cerita kuno, sebenarnya kita dapat menyajikan lokal
sesuai apa yang terjadi saat itu juga, mungkin headline surat kabar, tokoh
pelawak, keadaan ekonomi, dan sebagainya. Konten lokal memang diperlukan, tapi
yang terpenting disajikan secara enak, maksudnya jangan terlalu memaksakan yang
pada nantinya malah terlihat kaku.
Saat ini, Diki sedang menikmati
kerja dengan cara bebas, ia menggarap
karya pesanan, juga beberapa karya yang aplikatif untuk kebutuhan pemasaran,
tak pernah absen untuk tetap melukis,
nanti-nya akan dipamerkankan, untuk kemudian di pasarkan ke
galeri-galeri. Yang masih hangat, Diki baru saja menggelar pameran di ruang
galeri bernama ‘Ace House Collective’, kebetulan diki juga menjadi salah satu
diantara pendiri organisasi tersebut. Pameran bertema sebuah ‘lini-masa’ pengkaryaan sepanjang ia
berkarir. Untuk harapan kedepan, semoga tetap semangat sehat walafiat, terkait
dengan pengkaryaan semoga sub-kesenian masing-masing bisa semarak,
juga menonjol sesuai dengan ciri khasnya, terlebih juga terdapat dukungan oleh
industri terkait.
hijrah-100x200cm-aoc-2013
dikileos
menthel done
son of post
apocalypse(ode to madmax)
182x132cm.acrylic,marble powder on canvas-2012-
decki
leos firmansah
“Komik, film, video game, hot rod, dinamika masyarakat, dan semua yang
terlintas di kepala mampu Diki sajikan dengan dengan sebuah karya. Di bawah
payung bernama Kustom Kulture ia berkarya, bagaimana dengan kita? Mampukah
ketidakterbatasan ini menjadikan kita ada? Maka berkaryalah!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar