Musician
Teks: Huhum Hambilly | Photo: Rupa Bule
Mendiskripsikan
seorang Sri Krishna sebagai musisi mestinya berasa sempit. Seperti karya
musiknya, ia tak betah nongkrong dalam genre tertentu, karya adalah karya dan
konten-nya adalah kesenian itu sendiri. Lelaki gimbal akrab dengan sapaan Ncik
ini akan mengajak kita menuruni tangga, untuk menjelajah kemanusiaan,
kedamaian, persatuan, dan tentunya cinta.
Ala macam skena Yogyakarta meliputi sastra,
teater, pertunjukan, seni rupa, bahkan jalananan turut mematri sosok Sri
Krishna selama kurun tiga dekade (80-an sampai 2000-an), yang secara natural
mengantarkan dirinya sebagai seorang musisi. Meringkas masa yang begitu simpel,
lahir di Kabupaten Wonogiri, hijrah ke Jogja, bergaul dimanapun kalangan,
mengamen sejak dini, suka hati berpindah-pindah sekolah/kuliah, membangun
panggung dari café ke café, menawarkan kemana saja cita rasa baru bermusik, hadir
dalam single dan grup, bermain mandiri (independent)
– di bawah manajemen – hingga kembali mandiri, koprol sampai salto njungkel bin njempalik memperjuangkan kesempatan untuk terus berkarya,
dan kini merasa di tahap berbahagia dan selo,
bersuka-cita mengamini kegagalan sebagai sebuah prestasi. Kemudian, titik penting
mengenai sepak terjang si-encik yaitu
buah kebersamaannya di kawasan rawan bernama Folk Mataraman Institute.
Disinilah si encik menjabat hebat sebagai seorang Rektor.
Kejadian fenomenal adalah sebuah konser
sekaligus launching album Sri Krishna bertajuk Ayo Lawan, digelar di Taman
Budaya Yogyakarta (16/3) pada 2014 lalu, bersamaan dengan konten acara lain
bertema ke-indonesia-an, acara itu
bernama “Indonesia Siapa Yang Punya?”. Pergelaran konser menghasilkan simpul
bahwa kita semua dapat bersatu dalam damai, lebih dari itu terapan pattern andhap-asoy mengguncang pertanyaan ketakutan akan serba gaya hidup modern
(baca: serba uang dan sikap individualis). Konser terlaksana atas dukungan
bersama, dimana segala dana operasional yang berkaitan merupakan sumbangan
sukarela, konser dalam format orchestra
dibantu oleh puluhan pemain tanpa bayaran, bantuan artistik super kreatif berasal
dari teman, lalu tiket masuk adalah penonton membawa hasil alam dalam bentuk
apapun, kemudian hasil yang terkumpul dibagikan dan dinikmati bersama-sama.
Dalam panggung ini Sri Krishna mengaku begitu terharu, “gemetar panggung
menjadi saksi bahwa kita semua dapat membuat perubahan, lebih jauh meraih
cita-cita bangsa”.
Lagu-lagu Sri Krishna mengalir, dalam bermusik
ia tak merencakan untuk mencapai target-target tertentu (misal berada di tangga
nada lagu, panggung tertentu, atau jumlah penjualan album), ia ingin karya-nya sebagai
suara hati, menurut ncik “ya memang begitulah keadaan-nya”. Contoh nyata-nya ia
menciptakan sebuah lagu yang diunggah di akun soundcloud-nya dan membebaskan bagi siapapun yang ingin menggarap
lagu itu, untuk digunakan dalam bentuk apapun juga. Sri Krishna sering hadir di
berbagai panggung pameran, musiknya menghadirkan sajian eksperimental dalam
bentuk kolaborasi yang sifatnya luas (tidak sekedar menyanyi bersama), sebagai
contoh ada lagu dari lukisan Djoko Pekik berjudul Celeng Degleng, Kidung Nusantara
bersama pelukis Nasirun, dan masih banyak lagi. Selalu menggetarkan untuk di
dengar, sederatan judul sarat humanis,
misal Menolak Lupa (Untuk Munir), Guru Bangsa (Hormat untuk Gus Dur), Sang Pelayan (untuk YB Mangunwijawa).
Adalagi proyek musik digarap bersama Djaduk Ferianto untuk film Soegija garapan
Garin Nugraha. Khasnya karya Ncik eksperimental dibungkus dengan tema menyentuh.
Pengaruh besar karya ncik yaitu ruang berkarya di FMI yang memungkinkan dipertemukan
dengan seniman lintas disiplin. Seringkali
larut dalam obrolan asik n selo dan
berakhir dengan karya. Begitulah gambaran mereka bekerja, apapun menjadi karya,
terabas brutal berbagai pakem.
Di pojokan waktu Ncik berfilosofi mengenai, sudah
terbiasa gagal, kenapa
harus takut gagal, rayakanlah kegagalan dengan senang
hati. Mengaku harus pintar memanfaatkan orang lain, ia melihat para rekan perupa
sukses harus dimanfaatkan, lantaran ranah ‘pertunjukan’ semakin tua semakin tidak
laku, lain hal bagi perupa,
semakin karyanya berumur semakin mahal, harus pintar-pintar memaksa mencari
dukungan agar si teman ikhlas berbagi. Bersama FMI, membuka ajang unjuk gila,
kita ditantang seberapa berani tampil edan. Perlu juga mempraktekkan diversivikasi seniman bertujuan agar
tampil secara ciamik.
Di sentil obrolan tato, Sri Krishna mengaku
mendapatkan tato di kisaran tahun 90, dengan alasan cukup menggelitik, ‘oleh
karena putus cinta’, proses ditato menjadi perayaan atas kesakitan cinta dan
ditato itu sendiri, gambar-nya adalah tribal andalan yang paling keren pada jaman-nya,
dikerjakan oleh Heru Tattoo. Ada juga gambar yin-yang sebagaimana sarat akan makna keseimbangan kehidupan dan
semesta. Ia melihat tato sekarang bagus-bagus, cewek-cewek tampil pede
mengenakan tato. Profesi seniman tato banyak diminati. Ncik menyampaikan “sudah
sangat rindu untuk di tato lagi agar tak kalah keren dengan yang masa
kini”. Akhir ini, selalu dalam program menolak
mati muda, yaitu tengah
menyiapkan album ke-4, berisi 8 lagu yang sebelumnya telah dikeluarkan dalam
versi single.
Mana mungkin kita
tunggu, ia akan beredar sebagaimana gila-nya.
*) Artikel ini di-muat di majalah Magic Ink / Vol. 45 / Januari-Februari 2015
Buung Huhum....kamsyia tulisane ...situ terpuji dunia akhirat...mau menulis dengan prasojo dan menambah semangat yang anlimitid
BalasHapusMatur nuhun, Kalo boleh bertestimoni - smoga tdk berlebihan... FMI itu: menuju puncak gemilang generasi... kreatifitas macam mana yang akan saya duatakan? Ampun sudah.... ampun sutrisno..... #sungkem #nuwun
Hapusterimakasih infonya sangat bermanfaat sekali gan.
BalasHapus# Obat Infeksi Gusi
Obat Benjolan Gusi