Kamis, 05 Februari 2015

Nada dan Tinta: Sri Krishna


Musician

Teks: Huhum Hambilly | Photo: Rupa Bule

Mendiskripsikan seorang Sri Krishna sebagai musisi mestinya berasa sempit. Seperti karya musiknya, ia tak betah nongkrong dalam genre tertentu, karya adalah karya dan konten-nya adalah kesenian itu sendiri. Lelaki gimbal akrab dengan sapaan Ncik ini akan mengajak kita menuruni tangga, untuk menjelajah kemanusiaan, kedamaian, persatuan, dan tentunya cinta.

Ala macam skena Yogyakarta meliputi sastra, teater, pertunjukan, seni rupa, bahkan jalananan turut mematri sosok Sri Krishna selama kurun tiga dekade (80-an sampai 2000-an), yang secara natural mengantarkan dirinya sebagai seorang musisi. Meringkas masa yang begitu simpel, lahir di Kabupaten Wonogiri, hijrah ke Jogja, bergaul dimanapun kalangan, mengamen sejak dini, suka hati berpindah-pindah sekolah/kuliah, membangun panggung dari café ke café, menawarkan kemana saja cita rasa baru bermusik, hadir dalam single dan grup, bermain mandiri (independent) – di bawah manajemen – hingga kembali mandiri, koprol sampai salto njungkel bin njempalik  memperjuangkan kesempatan untuk terus berkarya, dan kini merasa di tahap berbahagia dan selo, bersuka-cita mengamini kegagalan sebagai sebuah prestasi. Kemudian, titik penting mengenai sepak terjang si-encik yaitu buah kebersamaannya di kawasan rawan bernama Folk Mataraman Institute. Disinilah si encik menjabat hebat sebagai seorang Rektor. 

Kejadian fenomenal adalah sebuah konser sekaligus launching album Sri Krishna bertajuk Ayo Lawan, digelar di Taman Budaya Yogyakarta (16/3) pada 2014 lalu, bersamaan dengan konten acara lain bertema ke-indonesia-an, acara itu bernama “Indonesia Siapa Yang Punya?”. Pergelaran konser menghasilkan simpul bahwa kita semua dapat bersatu dalam damai, lebih dari itu terapan pattern andhap-asoy mengguncang pertanyaan ketakutan akan serba gaya hidup modern (baca: serba uang dan sikap individualis). Konser terlaksana atas dukungan bersama, dimana segala dana operasional yang berkaitan merupakan sumbangan sukarela, konser dalam format orchestra dibantu oleh puluhan pemain tanpa bayaran, bantuan artistik super kreatif berasal dari teman, lalu tiket masuk adalah penonton membawa hasil alam dalam bentuk apapun, kemudian hasil yang terkumpul dibagikan dan dinikmati bersama-sama. Dalam panggung ini Sri Krishna mengaku begitu terharu, “gemetar panggung menjadi saksi bahwa kita semua dapat membuat perubahan, lebih jauh meraih cita-cita bangsa”.

Lagu-lagu Sri Krishna mengalir, dalam bermusik ia tak merencakan untuk mencapai target-target tertentu (misal berada di tangga nada lagu, panggung tertentu, atau jumlah penjualan album), ia ingin karya-nya sebagai suara hati, menurut ncik “ya memang begitulah keadaan-nya”. Contoh nyata-nya ia menciptakan sebuah lagu yang diunggah di akun soundcloud-nya dan membebaskan bagi siapapun yang ingin menggarap lagu itu, untuk digunakan dalam bentuk apapun juga. Sri Krishna sering hadir di berbagai panggung pameran, musiknya menghadirkan sajian eksperimental dalam bentuk kolaborasi yang sifatnya luas (tidak sekedar menyanyi bersama), sebagai contoh ada lagu dari lukisan Djoko Pekik berjudul Celeng Degleng, Kidung Nusantara bersama pelukis Nasirun, dan masih banyak lagi. Selalu menggetarkan untuk di dengar, sederatan judul sarat humanis, misal Menolak Lupa (Untuk Munir), Guru Bangsa (Hormat untuk Gus Dur), Sang Pelayan (untuk YB Mangunwijawa). Adalagi proyek musik digarap bersama Djaduk Ferianto untuk film Soegija garapan Garin Nugraha. Khasnya karya Ncik eksperimental dibungkus dengan tema menyentuh. Pengaruh besar karya ncik yaitu ruang berkarya di FMI yang memungkinkan dipertemukan dengan seniman lintas disiplin.  Seringkali larut dalam obrolan asik n selo dan berakhir dengan karya. Begitulah gambaran mereka bekerja, apapun menjadi karya, terabas brutal berbagai pakem.

Di pojokan waktu Ncik berfilosofi mengenai,  sudah terbiasa gagal, kenapa harus takut gagal, rayakanlah kegagalan dengan senang hati. Mengaku harus pintar memanfaatkan orang lain, ia melihat para rekan perupa sukses harus dimanfaatkan, lantaran ranah pertunjukan semakin tua semakin tidak laku, lain hal bagi perupa, semakin karyanya berumur semakin mahal, harus pintar-pintar memaksa mencari dukungan agar si teman ikhlas berbagi. Bersama FMI, membuka ajang unjuk gila, kita ditantang seberapa berani tampil edan. Perlu juga mempraktekkan diversivikasi seniman bertujuan agar tampil secara ciamik.

Di sentil obrolan tato, Sri Krishna mengaku mendapatkan tato di kisaran tahun 90, dengan alasan cukup menggelitik, ‘oleh karena putus cinta’, proses ditato menjadi perayaan atas kesakitan cinta dan ditato itu sendiri, gambar-nya adalah tribal andalan yang paling keren pada jaman-nya, dikerjakan oleh Heru Tattoo. Ada juga gambar yin-yang sebagaimana sarat akan makna keseimbangan kehidupan dan semesta. Ia melihat tato sekarang bagus-bagus, cewek-cewek tampil pede mengenakan tato. Profesi seniman tato banyak diminati. Ncik menyampaikan “sudah sangat rindu untuk di tato lagi agar tak kalah keren dengan yang masa kini”.  Akhir ini, selalu dalam program menolak mati muda, yaitu tengah menyiapkan album ke-4, berisi 8 lagu yang sebelumnya telah dikeluarkan dalam versi single. Mana mungkin kita tunggu, ia akan beredar sebagaimana gila-nya.

*) Artikel ini di-muat di majalah Magic Ink / Vol. 45 / Januari-Februari 2015

3 komentar:

  1. Buung Huhum....kamsyia tulisane ...situ terpuji dunia akhirat...mau menulis dengan prasojo dan menambah semangat yang anlimitid

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur nuhun, Kalo boleh bertestimoni - smoga tdk berlebihan... FMI itu: menuju puncak gemilang generasi... kreatifitas macam mana yang akan saya duatakan? Ampun sudah.... ampun sutrisno..... #sungkem #nuwun

      Hapus