Menyeberang - Izyudin Abdussalam
Perkenalan saya
dengan Izyudin Abdussalam atau yang akrap dengan panggilan ‘Bodhi’ baru-baru
saja, belum lama, yaitu ketika saya menggelar acara malam musik puisi “Duduk
Bersama 2”, tepatnya pada bulan Mei tahun 2015. Ia hadir bersama kelompok musik
Talamariam, sajian eksperimental yang kental dengan nuansa noise, dibingkai berbagai teks puisi dengan cara dideklamasikan.
Kami tentunya, diperkenalkan lewat puisi, Bodhi sebagai kreator dan saya
apresiator. Kehidupan berlanjut, kami berteman baik. Baru di kemudian hari saya
mengenalnya sebagi perupa – lebih dari perupa, ia sosok multi. Sesekali, pada
suatu momen ia kerap diposisikan sebagaimana aktivitas saya, yaitu sebagai organizer. Hingga kini kami terus
melakukan kerja-kerja kolaboratif.
Sudah menjadi
lumrah bagi seorang seniman yang cenderung kaya talenta, berbakat sejak lahir. Aktivitas
seniman, terutama dalam hal olah rasa dan bergulat dengan yang batiniah, untuk
kemudian bebas diluapkan dalam berbagai medium. Kehadiran Bodhi adalah sebuah sebagai
paket lengkap; musik, sastra dan visual. Sebagai seniman muda ia penuh dengan
gagasan kekinian. Type orang sejenis,
mengingatkan saya pada sosok macam Farid Stevy, Samuel indratma, Heri
Dono dll. Sepengamatan saya, para multitalen yang menghadirkan berbagai medium
karya cenderung memiliki pola yang sama, sebagaimana kita kenal lewat ‘konsep’.
Antara teks, gambar dan suara ciptaan Bodhi mempresentasikan satu muatan isi.
Sederhananya gambar Bodhi adalah visualisasi teks, teks tersebut dapat menjelma
menjadi musik, kemudian musik dengan leluasa dapat tampil dalam ujud visual. Ini
semacam konsep ‘segitiga’ yang sisi-sisinya mewakili disiplin seni, ia menjadi
sebuah kesatuan baik secara konsep dan praktik.
Untuk merangkum
karya Bodhi, kiranya tak boleh diabaikan adalah soal produktivitas, autisme dan
aset figur. Saya kurang tahu apa karya sebanyak ini yang diproduksi dalam kurun
2016 (kebanyakan) sengaja ia targetkan untuk pameran atau memang karya sudah
memenuhi kuota sehingga layak dipamerkan dalam format tunggal. Setahu saya
Bodhi disiplin, bahkan jika boleh dibilang telah sampai pada tahap over, over yang positif. Rutinitasnya
dalam mengelola majalah, bermusik, dan proyek-proyek garapan studio designnya
‘flyingpants lab.’ kerap berhadapan dengan deadline yang menyebabkan tumpukan
hutangnya akan tidur, baginya istirahat serasa dosa disaat deadline tiba. Ia tak
pernah absen proyek, selalu ada yang dikerjakan. Saya menaruh curiga bahwa
karya-karya Bodhi diproduksi di saat ia padat jadwal, bukan di waktu senggang.
Sebab, secara visual ia tampil secara random, serupa kolase, sebuah manifes
akan sekian hal yang barangkali tertumpah dari kepala pada saat itu juga. Tepat
sekali jika tajuk ‘riuh’ yang ditawarkannya dalam kesempatan pameran ini. Ia
sadar betul atas apa yang akan dan telah dikerjakaannya.
Sisi autis
Bodhi, seperti telah tersebut yaitu banyaknya medium keseniannya, lebih dari
itu autismenya juga hadir dalam visual baik secara kuantitas dan kualitas.
Hampir di banyak karya ia tak terlepas dari teks. Teks menjadi material baik dalam
subjek maupun objek. Lewat teks itu sendiri berisi ragam varian rasa, dari
spontan, kontemplatif, sinis, sarkas, ironi… kompilt. Keragaman dan kekomplitan
inilah yang jadi nilai tawar. Saya juga menemukan hal serupa dalam bagaimana ia
mengesksplor garis-garis tipis ekspresif, garis-garis inilah yang berperan
besar dalam aspek estetis Bodhi. Varian corat-coretnya mampu membangun objek
yang terkadang turut menghancurkan objek, ia yang konstruktif sekaligus
destruktif.
Beragam teknis
dengan menghadirkan kekayaan figur merupakan jangkauan eksperimen Bodhi. Figur sebagaimana
banyak kita kenal sebagai objek yang simbolis. Saya menjatuhkan ingatan kepada
perupa S Teddy D yang banyak menghadikan kepala seperti halnya Bodhi. Kepala
dalam S Teddy mampu hadir dalam bentuk paling simpel, namun berbeda dengan
Bodhi, kepala-kepalanya tampil lebih ramai dan variatif. Produktivitas melalui
objek figural Bodhi adalah simbol atas produktivitas Bodhi sendiri yang haus
akan ekperimen. Saya lebih sepakat mengamini figur-figur rekaan Bodhi dalam hal
estetis. Sebab secara tema ataupun isi dapat kita telaah lewat banyaknya teks
yang berhamburan. Di mana teks tersebut sudah siap untuk diinterpretasi. Yang
terjadi justru figur adalah reinterpretasi atas teks yang ada dalam karya
gambar Bodhi. Ia layak dengan predikat rumit. Kesatuan dalam aspek garis,
bentuk ataupun teks didalamnya saling menafsir. Sesekali teks menjelma menjadi
figur yang terdapat dalam satu karya, jadi fungsi teks disini tidak sebagaimana
komik. Teks disini adalah wujud figur itu sendiri, alhasil teks dan figur karya
Bodhi adalah hal yang sama, yang tersaji dalam satu bingkai.
Meminjam telaah
Putu Wijaya mengenai lukisan tradisional Bali, gambar tak mengenal perspektif,
dua dimensi, yang nyata dan imajiner rancu; mimpi dan kenyataan membaur; fokus berserakan; kanvas sesak; tidak ada
kesatuan image dan peristiwa; terdapat anakronisme yang disengajakan. Sejenak
berhenti untuk menikmatinya secara artistik, dalam karya Bodhi kalau boleh
direnungkan, kita banyak menemukan pemberontakan terhadap logika. Namun pada
saat yang sama pemberontakan itu tak kurang dari upaya memberikan logika kepada
berbagai hal yang tak masuk akal. Tiada perspektif adalah upaya untuk menerima
bahwa segalanya sama. Yang jauh dan yang dekat sama. Jarak tak menentukan
nilai. Jauh dan dekat tidak dinilai dari apa yang tertangkap oleh manusia,
tetapi dari apa yang bangkit dari hati pemirsa. Baik yang imajiner dan yang
nyata, baurnya angan-angan dan kenyataan, adalah potret realitas, di mana
mimpi, harapan dan realitas datang serentak pada karyanya dan tentu pada hidup
manusia.
Tema tampil
dalam hiruk pikuk. Bodhi menampilkan panggung rupa-nya berisi pemikiran, pendapat,
kritik, renungan, doa dan amarah. Ia mengumpat zaman yang artinya dilayangkan
pada manusia. Berbagai problematika kehidupan
yang serba ‘embuh’ semakin menjadi tema sexy. Sebab memang, Bodhi adalah sosok
pemikir, ia tak bermaksud mengendepankan karyanya sebagai suatu kehidupan
tersendiri. Kesenian hanya bayangan, hanya jembatan menuju kebenaran yang
sesungguhnya. Karenanya ia tidak seragam, tidak bisa diatur. Ia hidup, bahkan
bisa jadi liar. Itulah kodratnya. Karena hidup selalu bergerak, dinamis. Sepaham
dengan Putu Wijaya, kesenian hanya tontonan yang bila diselenggarakan secara sakral,
baru mengantar pada makna yang sesungguhnya. Jadi kesenian sendiri hanya
selongsong. Yang utama adalah moral yang hendak disampaikannya.
Saya menganggap
paket pameran Bodhi bukanlah muara atas realitas dan juga problem-problem yang dihadapinya.
Ia tak hendak mengharapkan sesuatu yang berlebih atas karyanya. Karya sebagai
pengantar, sebab secara sadar ia mengamini atau menerima atas hal-hal yang menurutnya
kosong, sebagaimana ia mengartikan apa-apa yang nihil, yang nisbi dan yang
alpha. Namun bagi saya karyanya semacam momen atas khaos dalam estetika Deleuzian. Estetika Bodhi tak terlepas dari
sudut pandang penciptaan lewat eksperimentasi, kita patut menyimak suasana
pikiran Bodhi. Sebagai pembaca Nietzche, Bodhi sadar akan berbagai hal yang
menggelisahkan – sepakat mengamini dunia yang berkembang tak lebih baik. Namun
Bodhi terus bertindak dan berusaha, meski seolah tak merubah apa-apa.
Momen pameran
ini bagi saya adalah sebuah kemenangan Bodhi atas eksperimentasi, produktifitas
dan kolaborasinya. Meski barangkali dipandang tak seberapa oleh mereka yang
menggelisahkan kita. Hormat saya untuk perupa Bodhi, yang dalam umur
mudanya telah memiliki dan mencapai
semua ini. Salam hangat.
Jogja,
25 Juli 2016
Huhum
Hambilly
Pegiat
media subkultur
*) artikel ini diterbitkan dalam katalog pameran tunggal Izyudin Abdussalam berjudul "RIUH"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar