Jumat, 26 Agustus 2016

Muqadimah Riuh

Menyeberang - Izyudin Abdussalam

Perkenalan saya dengan Izyudin Abdussalam atau yang akrap dengan panggilan ‘Bodhi’ baru-baru saja, belum lama, yaitu ketika saya menggelar acara malam musik puisi “Duduk Bersama 2”, tepatnya pada bulan Mei tahun 2015. Ia hadir bersama kelompok musik Talamariam, sajian eksperimental yang kental dengan nuansa noise, dibingkai berbagai teks puisi dengan cara dideklamasikan. Kami tentunya, diperkenalkan lewat puisi, Bodhi sebagai kreator dan saya apresiator. Kehidupan berlanjut, kami berteman baik. Baru di kemudian hari saya mengenalnya sebagi perupa – lebih dari perupa, ia sosok multi. Sesekali, pada suatu momen ia kerap diposisikan sebagaimana aktivitas saya, yaitu sebagai organizer. Hingga kini kami terus melakukan kerja-kerja kolaboratif.

Sudah menjadi lumrah bagi seorang seniman yang cenderung kaya talenta, berbakat sejak lahir. Aktivitas seniman, terutama dalam hal olah rasa dan bergulat dengan yang batiniah, untuk kemudian bebas diluapkan dalam berbagai medium. Kehadiran Bodhi adalah sebuah sebagai paket lengkap; musik, sastra dan visual. Sebagai seniman muda ia penuh dengan gagasan kekinian. Type orang sejenis,  mengingatkan saya pada sosok macam Farid Stevy, Samuel indratma, Heri Dono dll. Sepengamatan saya, para multitalen yang menghadirkan berbagai medium karya cenderung memiliki pola yang sama, sebagaimana kita kenal lewat ‘konsep’. Antara teks, gambar dan suara ciptaan Bodhi mempresentasikan satu muatan isi. Sederhananya gambar Bodhi adalah visualisasi teks, teks tersebut dapat menjelma menjadi musik, kemudian musik dengan leluasa dapat tampil dalam ujud visual. Ini semacam konsep ‘segitiga’ yang sisi-sisinya mewakili disiplin seni, ia menjadi sebuah kesatuan baik secara konsep dan praktik.

Untuk merangkum karya Bodhi, kiranya tak boleh diabaikan adalah soal produktivitas, autisme dan aset figur. Saya kurang tahu apa karya sebanyak ini yang diproduksi dalam kurun 2016 (kebanyakan) sengaja ia targetkan untuk pameran atau memang karya sudah memenuhi kuota sehingga layak dipamerkan dalam format tunggal. Setahu saya Bodhi disiplin, bahkan jika boleh dibilang telah sampai pada tahap over, over yang positif. Rutinitasnya dalam mengelola majalah, bermusik, dan proyek-proyek garapan studio designnya ‘flyingpants lab.’ kerap berhadapan dengan deadline yang menyebabkan tumpukan hutangnya akan tidur, baginya istirahat serasa dosa disaat deadline tiba. Ia tak pernah absen proyek, selalu ada yang dikerjakan. Saya menaruh curiga bahwa karya-karya Bodhi diproduksi di saat ia padat jadwal, bukan di waktu senggang. Sebab, secara visual ia tampil secara random, serupa kolase, sebuah manifes akan sekian hal yang barangkali tertumpah dari kepala pada saat itu juga. Tepat sekali jika tajuk ‘riuh’ yang ditawarkannya dalam kesempatan pameran ini. Ia sadar betul atas apa yang akan dan telah dikerjakaannya.

Sisi autis Bodhi, seperti telah tersebut yaitu banyaknya medium keseniannya, lebih dari itu autismenya juga hadir dalam visual baik secara kuantitas dan kualitas. Hampir di banyak karya ia tak terlepas dari teks. Teks menjadi material baik dalam subjek maupun objek. Lewat teks itu sendiri berisi ragam varian rasa, dari spontan, kontemplatif, sinis, sarkas, ironi… kompilt. Keragaman dan kekomplitan inilah yang jadi nilai tawar. Saya juga menemukan hal serupa dalam bagaimana ia mengesksplor garis-garis tipis ekspresif, garis-garis inilah yang berperan besar dalam aspek estetis Bodhi. Varian corat-coretnya mampu membangun objek yang terkadang turut menghancurkan objek, ia yang konstruktif sekaligus destruktif.

Beragam teknis dengan menghadirkan kekayaan figur merupakan jangkauan eksperimen Bodhi. Figur sebagaimana banyak kita kenal sebagai objek yang simbolis. Saya menjatuhkan ingatan kepada perupa S Teddy D yang banyak menghadikan kepala seperti halnya Bodhi. Kepala dalam S Teddy mampu hadir dalam bentuk paling simpel, namun berbeda dengan Bodhi, kepala-kepalanya tampil lebih ramai dan variatif. Produktivitas melalui objek figural Bodhi adalah simbol atas produktivitas Bodhi sendiri yang haus akan ekperimen. Saya lebih sepakat mengamini figur-figur rekaan Bodhi dalam hal estetis. Sebab secara tema ataupun isi dapat kita telaah lewat banyaknya teks yang berhamburan. Di mana teks tersebut sudah siap untuk diinterpretasi. Yang terjadi justru figur adalah reinterpretasi atas teks yang ada dalam karya gambar Bodhi. Ia layak dengan predikat rumit. Kesatuan dalam aspek garis, bentuk ataupun teks didalamnya saling menafsir. Sesekali teks menjelma menjadi figur yang terdapat dalam satu karya, jadi fungsi teks disini tidak sebagaimana komik. Teks disini adalah wujud figur itu sendiri, alhasil teks dan figur karya Bodhi adalah hal yang sama, yang tersaji dalam satu bingkai.

Meminjam telaah Putu Wijaya mengenai lukisan tradisional Bali, gambar tak mengenal perspektif, dua dimensi, yang nyata dan imajiner rancu; mimpi dan kenyataan membaur;  fokus berserakan; kanvas sesak; tidak ada kesatuan image dan peristiwa; terdapat anakronisme yang disengajakan. Sejenak berhenti untuk menikmatinya secara artistik, dalam karya Bodhi kalau boleh direnungkan, kita banyak menemukan pemberontakan terhadap logika. Namun pada saat yang sama pemberontakan itu tak kurang dari upaya memberikan logika kepada berbagai hal yang tak masuk akal. Tiada perspektif adalah upaya untuk menerima bahwa segalanya sama. Yang jauh dan yang dekat sama. Jarak tak menentukan nilai. Jauh dan dekat tidak dinilai dari apa yang tertangkap oleh manusia, tetapi dari apa yang bangkit dari hati pemirsa. Baik yang imajiner dan yang nyata, baurnya angan-angan dan kenyataan, adalah potret realitas, di mana mimpi, harapan dan realitas datang serentak pada karyanya dan tentu pada hidup manusia.

Tema tampil dalam hiruk pikuk. Bodhi menampilkan panggung rupa-nya berisi pemikiran, pendapat, kritik, renungan, doa dan amarah. Ia mengumpat zaman yang artinya dilayangkan pada manusia. Berbagai  problematika kehidupan yang serba ‘embuh’ semakin menjadi tema sexy. Sebab memang, Bodhi adalah sosok pemikir, ia tak bermaksud mengendepankan karyanya sebagai suatu kehidupan tersendiri. Kesenian hanya bayangan, hanya jembatan menuju kebenaran yang sesungguhnya. Karenanya ia tidak seragam, tidak bisa diatur. Ia hidup, bahkan bisa jadi liar. Itulah kodratnya. Karena hidup selalu bergerak, dinamis. Sepaham dengan Putu Wijaya, kesenian hanya tontonan yang bila diselenggarakan secara sakral, baru mengantar pada makna yang sesungguhnya. Jadi kesenian sendiri hanya selongsong. Yang utama adalah moral yang hendak disampaikannya.

Saya menganggap paket pameran Bodhi bukanlah muara atas realitas dan juga problem-problem yang dihadapinya. Ia tak hendak mengharapkan sesuatu yang berlebih atas karyanya. Karya sebagai pengantar, sebab secara sadar ia mengamini atau menerima atas hal-hal yang menurutnya kosong, sebagaimana ia mengartikan apa-apa yang nihil, yang nisbi dan yang alpha. Namun bagi saya karyanya semacam momen atas khaos dalam estetika Deleuzian. Estetika Bodhi tak terlepas dari sudut pandang penciptaan lewat eksperimentasi, kita patut menyimak suasana pikiran Bodhi. Sebagai pembaca Nietzche, Bodhi sadar akan berbagai hal yang menggelisahkan – sepakat mengamini dunia yang berkembang tak lebih baik. Namun Bodhi terus bertindak dan berusaha, meski seolah tak merubah apa-apa.

Momen pameran ini bagi saya adalah sebuah kemenangan Bodhi atas eksperimentasi, produktifitas dan kolaborasinya. Meski barangkali dipandang tak seberapa oleh mereka yang menggelisahkan kita. Hormat saya untuk perupa Bodhi, yang dalam umur mudanya  telah memiliki dan mencapai semua ini. Salam hangat.

Jogja, 25 Juli 2016

Huhum Hambilly
Pegiat media subkultur


*) artikel ini diterbitkan dalam katalog pameran tunggal Izyudin Abdussalam berjudul "RIUH"



Tidak ada komentar:

Posting Komentar