Kamis, 19 Januari 2017

Seni Grafis yang Makin Romantis


Di era kemudahan produksi yang hampir tidak mengenal batas, dengan segala fasilitasnya, sebagaimana yang mampu dikerjakan alat-alat produksi semacam mesin cetak, print dsb, berikut tawaran kecanggihan yang semakin waktu memperlihatkan kemajuannya. Fenomena tersebut tidak melulu diterima, dianut, dan dirayakan oleh semua orang. Konon, hanya orang-orang maju yang mampu menerima dan menyambut dengan sepenuh hati atas apa-apa saja yang berbau kemajuan teknologi sebagai ciri makhluk survival. Di luar itu mereka adalah orang-orang tertuntut, orang tertinggal, orang mundur, lebih celakanya; orang kalah dan sesegera dilindas oleh roda besar bernama ‘peradaban’, benarkah?.

Beberapa orang justru lebih khusyuk menggeluti dunia yang kini dikenal sebagai ‘laku manual’, dalam hal ini adalah mereka yang menggeluti bidang seni grafis. Ada beberapa pertimbangan atas kehadiran karya grafis akhir-akhir ini. Bahwa aspek manual masih memenuhi prasyarat estetis, yang dikerjakan dengan sentuhan-sentuhan tangan sebagai wujud ekspresi. Adapun sudut pandang dalam melihat karya yang dihasilkan murni oleh alat – otomatis – dinilai tidak memenuhi ‘proses’, gampang dan mudah dilakukan siapapun. Atau produksi seni grafis telah sampai pada fase ‘kesadaran’ tentang otonomi seni grafis itu sendiri [1].

Dalam pengamatan saya ketertarikan atau minat terhadap produksi karya grafis merupakan romantisme. Ada apresiasi khusus terhadap sebuah proses – sebagaimana fase yang musti dilalui dalam menghasilkan karya grafis, yang lebih menyuratkan pada kerja manual. Sebab, mereka cukup jemu menjumpai pemandangan visual yang sekian banyak jumlahnya yang dihasilkan oleh perangkat serba otomatis, terutama foto dan karya desain berbasis komputer. Adapula, boleh disinyalir bahwa baru saat-saat ini karya lukis dianggap membosankan dan kuno, lalu karya seni grafis dilihat lebih menantang dengan tingkat kesulitan produksi berikut kerumitan prosesnya. Seni grafis akhirnya menjadi eksperimen yang menyenangkan yang mampu menyasar kondisi batin si penggarapnya, setidaknya sebagai pemenuhan kontemplasi di zaman yang makin sengkarut.

Mencoba mengamati perkembangan seni grafis akhir ini, terutama di medan visual berbasis kolektif, komunitas, klub, grup dan sejenisnya, yang mana kebanyakan beranggotakan para anak muda. Beberapa kerja-kerja seni grafis yang dilakukan secara berkelompok masih menunjukkan gelagat yang bersifat kampanye atas keberadaan seni grafis itu sendiri. Hal ini mengingat masih banyaknya presentasi ataupun kegiatan yang dihadirkan dalam bentuk workshop, terutama untuk karya cukil kayu. Sebab, publik secara umum memang belumlah akrap dengan karya seni grafis dalam pengertiannya sebagai pengetahuan; sejarah, jenis, teknik, medium dan apresiasi. Meski sebenarnya, publik secara visual tidak asing atas karya-karya grafis yang mudah dijumpai dalam rutinitas harian mereka, misal seperti jenis karya yang dihasilkan dengan teknik cetak saring/sablon yang melekat pada baju-baju mereka.

Dengan berbagai latar belakang dan pertimbangan, motor-motor penggerak seni grafis masih tetap berjalan dan memberikan kerja yang makin terlihat, bahkan lebih menarik perhatian. Kecenderungannya bisa dilihat dari kehadiran kolektif, komunitas, grup, lembaga dan personal yang aktif mempresentasikan kegiatannya dalam berbagai medium; pameran khusus karya grafis yang tematik, workshop, diskusi, dan berbagai macam project.

Cukup hangat untuk menegok berbagai aktivitas. Grafis Minggiran yang terbukti makin eksis dengan presentasi yang beragam, terutama menyasar pada kesenian tipe kolaboratif dan partisipatif. Kemunculan Club Etsa yang didominasi para kawula muda, dalam slogannya yang cukup jelas ‘etching –share –fun’. Krack Studio yang dengan terang menawarkan tempatnya sebagai ruang produksi karya grafis yang kebanyakan disasarkan kepada seniman diluar kerja grafis. Jangan dilewatkan event Jogja International Miniprint Biennale, tahun ini menawarkan konten acara berupa kuliah umum memuat materi yang cukup spesifik mengenai karya seni grafis dalam tinjauan wacana dan perkembangan. Kemudian Taring padi, komunitas Tangan Reget tentunya telah menoreh warna tersendiri. Tak terlupa serangkaian kerja lembaga Bentara Budaya; Triennal Seni Grafis, yang memiliki perhatian khusus atas seni grafis – begitupun kesenian lainnya, sengaja dirancang dalam skema urgent.

Saya menyasarkan perhatian di luar jangkauan kerja-kerja seni grafis, terutama wilayah pop urban, yaitu menemukan beberapa pola kerja sebagaimana yang diformulakan oleh para pegrafis dalam upayanya memberikan nilai pada sebuah karya. Jika boleh diamati, sebagai contoh, sebuah band merilis album, kaos, buku dan berbagai merchandise dengan format terbatas, seringkali hadir dalam kode-kode semacam signing atau numbering. Kehadiran produk ini setidaknya dengan maksud agar benda tersebut memenuhi sifatnya sebagai ‘collectible item’, benda yang berharga dan layak dikoleksi. Meskipun di lain pihak konsep tersebut hanyalah sebagai kedok mengingat dana produksi yang terbatas pula. Memang publik (kolektor seni grafis) berbeda sebagaimana publik urban – dalam soal harga karya seni. Setidaknya lewat fenomena tersebut, para pegrafis tidak perlu meragukan sikap apresiator yang konon kurang cerdas, akhirnya tinggal bagaimana mengembangkan kerja pemasaran.

Karya grafis kini mendapat apresiasi lebih tersebab perkara tekniknya, dari cukilan kayu, intaglio, litografi hingga cetak saring yang merepresentasikan sebagai bagian dari kerja manual. Mengenai konsep ‘keterbatasan’ adalah upaya yang sifatnya lebih situasional. Sebab, keterbatasan yang disengajakan dapat diproduksi lewat mesin cetak otomatis yang tetap saja mampu memberikan nilai yang sama sebagaimana karya grafis.  Hal tersebut dapat disimbolkan dengan kode-kode tertentu – tak lain celakanya adalah dengan cara manual. Grafis telah mengundang sisi romantik, sebagai penegasan bahwa sentuhan memiliki kekekuatannya dan bekerja dengan caranya sendiri.

Cukilan Kayu Esa Adi: Demi Grafis, Maafkanlah Hamba…

Beberapa bulan lalu, pada kurun November 2016 bertempat di galeri Sangkring Art Project, Esa memamerkan beberapa karya cukilan kayu yang cenderung berukuran besar, seukuran A0 . Pameran dihadirkan dalam mini group bersama rekan sepermainannya sejumlah 9 orang. Pameran mereka beri judul EVERYTHINK, yang secara tema besar merupakan presentasi karya urban berbasis lintas subkultur, ada tattoo, graffiti, drawing, illustration, typografi, graphic dan design. Karya tersebut kembali dipamerkan bersamaan dengan karya lain yang rata-rata diproduksi tahun sebelumnya, 2015 – lebih menonjol penggunaan warna merah berikut permainan layer, kesemuanya dihadirkan dalam pameran Tugas Akhir berjudul “Metafora Gurita dalam Penciptaan Karya Seni Grafis Cetak Tinggi (Hardboardcut)”. Menarik menjadi poin adalah karya cukil Esa Adi menjangkau dua ruang uji sekaligus. Pertama kepada publik, kedua di wilayah akademis. Ada sedikitnya beberapa catatan yang akan diuraikan mengenai karya Esa atas presentasinya kepada publik, dengan mengambil beberapa konteks dalam youth culture, urban dan fenomena kolektif.

Visualisasi gurita sengaja dipilih sebagai dasar pembentukan image karya, dan metafora menjadi instrumen dalam tugasnya mendistribusikan berbagai makna, hal inilah yang menjadi konsep Esa dalam berkarya. Secara umum boleh diartikan, ia hendak menghadirkan objek gurita dengan pendekatan yang puitik. Menengok beberapa pola, gurita dalam karya Esa tidak seluruhnya mempresentasikan subjek atupun ketokohan, kecuali beberapa judul karya yang sengaja ‘digabungkan’ dalam format octo-x (misal; octohorn, octocircus, octosamurai, octowings), seri tersebut menurut saya adalah yang paling ideal terkait konsep.

Berikutnya dalam judul nahkoda diri, time of my life, dan daddycation sesungguhnya cukup membuat rancu atas konsep yang ia tawarkan. Tiga karya tersebut, lebih cenderung mengandalkan permainan objek sebagaimana tantangan gaya surrealist – menaruh objek semaunya. Artinya di situ gurita telah hilang fungsinya sebagai metafor, sebab ia disejajarkan dan hadir bersamaan objek yang dimetaforkan atau objek yang berfungsi sebagai metafor itu sendiri, seperti  kemudi, tulang rusuk, jam pasir dan tengkorak. Satu disayangkan lagi bahwa bagian tubuh gurita (kaki/tangan) terlihat hanya memenuhi aspek dekoratifnya. Hal ini juga ditemui di seri merah; legtopus dan handtopus – tak lebih dari  sifatnya yang hanya memadukan.

Ada yang khusus bagi Esa, bahwa karya cukilnya keluar dari kecenderungan umum, di mana seringkali dijumpai karya cukil hadir dalam gaya ekspresif, seperti biasa ditemui lewat karya-karya kelompok lembaga kebudayaan Taring Padi yang sarat akan muatan propaganda dan protes. Karya Esa Secara visual nampak bergaya pop, sebagaimana rekaan gambar yang dihasilkan oleh alat berbasis digital macam komputer, atau lebih dikenal dengan type vector. Hal ini tersebab ia mempunyai latar belakang aktivitas sebagai designer – terlebih keputusannya mengambil konsentrasi Desain Komunikasi Visual. Adalagi, Esa juga keluar dari kecenderungan visual seseorang yang mempunyai kapasitas kerja design, di mana seringkali menghadirkan banyak objek untuk diolah dan dikombinasikan dalam rumusan  layout. Justru karyanya tampil dalam nuansa tunggal, simpel namun juga detail. Ia sperti mengamini pakem-pakem tradisional yang dalam istilah alternatifnya; oldskull[2].

Perupa yang sesekali menyalurkan hobinya bermusik keras ini mengaku begitu kagum dengan karya Katsusika Hokusai, yang paling dikenal dengan judul “ The Great Wave Off Kanagawa”. Maha karya sempurna yang memenuhi perhitungan Fibonacci, sekilas nampak lukisan tapi sesungguhnya adalah karya Woodblock Print. Ini membuatnya makin tertarik sekaligus tertantang dengan karya grafis. Ia juga antusias menyampaikan bahwa “logo fashion brand kenamaan Quiksilver terinspirasi dari karya tersebut”, karya Hokusai seolah memakemkan bentuk ombak, keren! Berbeda lagi dengan idolanya yang lain, tersebutlah Dennis Mcnett a.k.a Wolfbat, sosok ini menjurus gebrakan karyanya di lingkungan urban yang lebih industrial. Seniman cukil ini popular di medan subkultur macam scene punk hingga skateboard. Karya-karyanya mendapat apresiasi berlebih  dalam ujud produk-produk keluaran berbagai brand, seperti Kr3w Denim, Vans dan Anti-Hero Skateboard. Menarik, bahwa para seniman urban dikukuhkan posisi dan popularitasnya lewat visual yang kerap hadir dalam produk. Seringkali muncul dalam kaos, kover album, poster, video klip dan sebagainya – tidak dalam presentasi formal macam pameran ataupun kompetisi seni.

Menyimak pencapaian visual karya cukil Esa bisa membawa kita dalam kondisi dilematis. Bahwa dengan tipe gambar, sebagaimana ia sajikan, khas dengan pola cap, bidang yang solid, garis yang tegas, dan tidak mengenal background – minim ekspresi, tidak jauh beda dengan hasil kerja aplikasi corel draw misalnya. Peran yang dapat kita sumbang adalah apresiasi atas kemampuan teknisnya. Ada beberapa komentar yang muncul – komentar pada umumnya, bahwa teknis sesesorang dianggap hebat karena dapat menyamai kerja mesin, mesin seolah dalam posisinya lebih hebat dari manusia. Ini pandangan yang salah, mereka lupa kepada siapa pencipta mesin. Memang Esa mempunyai kemampuan mumpuni dalam hal teknis, kemampuan ini pula yang menjadikan karyanya unik. Namun jika kita lebih menekankan Esa pada wilayah teknis, maka seusungguhnya kita adalah apresiator yang menyedihkan. Celakanya, yang menjadi pertanyaan, apakah kasus-kasus ini relevan di wilayah pop urban?

Robert Williams, bapak lowbrow sejagad raya itu, menerima sambutan visualnya dalam konteks fine art tersebab gaya visual yang disebut pop surrealist. Ketokohannya baru benar-benar kukuh ketika ia mendirikan majalah Juxtapoz. Ahli racik hal-hal underground macam komik, modifikasi kendaraan, film dan serba-seri psychedelic. Perlu berpuluh-puluh tahun membangun dunia bawah tanahnya menjadi wacana penting. Kerja karyanya lebih banyak menekankan aspek kemasan, berupa gimmick ataupun games. Dalam dunia lowbrow, sesungguhnya penuh muatan politik, ia tampil dengan cara simbolis. Luar biasanya, semangat pergerakan ini disebarluaskan melalui trend dalam berbagai produk. 

Esa saat ini dan dalam pameran ini memang dalam jangkauan hal-hal yang bersifat personal dan tahap permulaan ekplorasi artistik, ia masih muda dan bersemangat. Usaha saya dalam menyebut Robert Williams dengan maksud untuk memberi gambaran bagaimana skema kesenian urban bekerja. Jika boleh menyebut ia seperti persilangan antara produksi artistik dengan industri, antara yang akademis dengan yang underground, antara yang politik simbolis dengan yang tren. Serasa kompleks, karya cukil Esa lewat Tugas Akhir bisa jadi pemberontakan atas ‘kecenderungan mahasiswa’, gambar sarat pop adalah sesuatu yang konvensional, laku manual merupakan sikap protes, pengalaman bak intermezzo dan boleh jadi grafis hanyalah sebagai alat.


[1] Meminjam telaah Aminudin Th Siregar dalam Tentang Seni Grafis – Majalah Visual Art Juni 2010; Kehadiran karya seni grafis di Indonesia yang diperkenalkan oleh Mochtar Apin lewat proyek seni grafis dilihat sebagai kepentingan politik. Proyek ini digagas oleh Sekretariat Menteri Urusan Pemuda untuk menyambut ulang tahun kemerdekaan pertama, Agustus 1946.
[2] Semacam aliran yang berkembang pada fase awal, hampir di berbagai medan subkultur mengenalnya. Misal dalam hip-hop, graffiti juga tattoo. Oldskull untuk menyebut bentuk yang awal sebagai pembeda dari yang klasik ataupun kuno.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar