Di era kemudahan produksi yang hampir tidak
mengenal batas, dengan segala fasilitasnya, sebagaimana yang mampu dikerjakan
alat-alat produksi semacam mesin cetak, print
dsb, berikut tawaran kecanggihan yang semakin waktu memperlihatkan kemajuannya.
Fenomena tersebut tidak melulu diterima, dianut, dan dirayakan oleh semua
orang. Konon, hanya orang-orang maju yang mampu menerima dan menyambut dengan
sepenuh hati atas apa-apa saja yang berbau kemajuan teknologi sebagai ciri
makhluk survival. Di luar itu mereka adalah
orang-orang tertuntut, orang tertinggal, orang mundur, lebih celakanya; orang
kalah dan sesegera dilindas oleh roda besar bernama ‘peradaban’, benarkah?.
Beberapa orang justru lebih khusyuk menggeluti
dunia yang kini dikenal sebagai ‘laku manual’, dalam hal ini adalah mereka yang
menggeluti bidang seni grafis. Ada beberapa pertimbangan atas kehadiran karya
grafis akhir-akhir ini. Bahwa aspek manual masih memenuhi prasyarat estetis,
yang dikerjakan dengan sentuhan-sentuhan tangan sebagai wujud ekspresi. Adapun
sudut pandang dalam melihat karya yang dihasilkan murni oleh alat – otomatis –
dinilai tidak memenuhi ‘proses’, gampang dan mudah dilakukan siapapun. Atau
produksi seni grafis telah sampai pada fase ‘kesadaran’ tentang otonomi seni
grafis itu sendiri [1].
Dalam pengamatan saya ketertarikan atau minat
terhadap produksi karya grafis merupakan romantisme. Ada apresiasi khusus
terhadap sebuah proses – sebagaimana fase yang musti dilalui dalam menghasilkan
karya grafis, yang lebih menyuratkan pada kerja manual. Sebab, mereka cukup
jemu menjumpai pemandangan visual yang sekian banyak jumlahnya yang dihasilkan
oleh perangkat serba otomatis, terutama foto dan karya desain berbasis
komputer. Adapula, boleh disinyalir bahwa baru saat-saat ini karya lukis
dianggap membosankan dan kuno, lalu karya seni grafis dilihat lebih menantang
dengan tingkat kesulitan produksi berikut kerumitan prosesnya. Seni grafis akhirnya
menjadi eksperimen yang menyenangkan yang mampu menyasar kondisi batin si
penggarapnya, setidaknya sebagai pemenuhan kontemplasi di zaman yang makin
sengkarut.
Mencoba mengamati perkembangan seni grafis
akhir ini, terutama di medan visual berbasis kolektif, komunitas, klub, grup
dan sejenisnya, yang mana kebanyakan beranggotakan para anak muda. Beberapa
kerja-kerja seni grafis yang dilakukan secara berkelompok masih menunjukkan
gelagat yang bersifat kampanye atas keberadaan seni grafis itu sendiri. Hal ini
mengingat masih banyaknya presentasi ataupun kegiatan yang dihadirkan dalam
bentuk workshop, terutama untuk karya
cukil kayu. Sebab, publik secara umum memang belumlah akrap dengan karya seni
grafis dalam pengertiannya sebagai pengetahuan; sejarah, jenis, teknik, medium
dan apresiasi. Meski sebenarnya, publik secara visual tidak asing atas
karya-karya grafis yang mudah dijumpai dalam rutinitas harian mereka, misal
seperti jenis karya yang dihasilkan dengan teknik cetak saring/sablon yang
melekat pada baju-baju mereka.
Dengan berbagai latar belakang dan
pertimbangan, motor-motor penggerak seni grafis masih tetap berjalan dan
memberikan kerja yang makin terlihat, bahkan lebih menarik perhatian.
Kecenderungannya bisa dilihat dari kehadiran kolektif, komunitas, grup, lembaga
dan personal yang aktif mempresentasikan kegiatannya dalam berbagai medium;
pameran khusus karya grafis yang tematik, workshop,
diskusi, dan berbagai macam project.
Cukup hangat untuk menegok berbagai aktivitas.
Grafis Minggiran yang terbukti makin eksis dengan presentasi yang beragam,
terutama menyasar pada kesenian tipe kolaboratif dan partisipatif. Kemunculan
Club Etsa yang didominasi para kawula muda, dalam slogannya yang cukup jelas ‘etching –share –fun’. Krack Studio yang
dengan terang menawarkan tempatnya sebagai ruang produksi karya grafis yang
kebanyakan disasarkan kepada seniman diluar kerja grafis. Jangan dilewatkan event Jogja International Miniprint
Biennale, tahun ini menawarkan konten acara berupa kuliah umum memuat materi
yang cukup spesifik mengenai karya seni grafis dalam tinjauan wacana dan
perkembangan. Kemudian Taring padi, komunitas Tangan Reget tentunya telah
menoreh warna tersendiri. Tak terlupa serangkaian kerja lembaga Bentara Budaya; Triennal Seni Grafis, yang memiliki
perhatian khusus atas seni grafis – begitupun kesenian lainnya, sengaja
dirancang dalam skema urgent.
Saya menyasarkan perhatian di luar jangkauan
kerja-kerja seni grafis, terutama wilayah pop
urban, yaitu menemukan beberapa pola kerja sebagaimana yang diformulakan
oleh para pegrafis dalam upayanya memberikan nilai pada sebuah karya. Jika
boleh diamati, sebagai contoh, sebuah band merilis album, kaos, buku dan
berbagai merchandise dengan format
terbatas, seringkali hadir dalam kode-kode semacam signing atau numbering.
Kehadiran produk ini setidaknya dengan maksud agar benda tersebut memenuhi
sifatnya sebagai ‘collectible item’,
benda yang berharga dan layak dikoleksi. Meskipun di lain pihak konsep tersebut
hanyalah sebagai kedok mengingat dana produksi yang terbatas pula. Memang
publik (kolektor seni grafis) berbeda sebagaimana publik urban – dalam soal
harga karya seni. Setidaknya lewat fenomena tersebut, para pegrafis tidak perlu
meragukan sikap apresiator yang konon kurang cerdas, akhirnya tinggal bagaimana
mengembangkan kerja pemasaran.
Karya grafis kini mendapat apresiasi lebih
tersebab perkara tekniknya, dari cukilan kayu, intaglio, litografi hingga
cetak saring yang merepresentasikan sebagai bagian dari kerja manual. Mengenai
konsep ‘keterbatasan’ adalah upaya yang sifatnya lebih situasional. Sebab,
keterbatasan yang disengajakan dapat diproduksi lewat mesin cetak otomatis yang
tetap saja mampu memberikan nilai yang sama sebagaimana karya grafis. Hal tersebut dapat disimbolkan dengan
kode-kode tertentu – tak lain celakanya adalah dengan cara manual. Grafis telah
mengundang sisi romantik, sebagai penegasan bahwa sentuhan memiliki kekekuatannya
dan bekerja dengan caranya sendiri.
Cukilan Kayu Esa Adi: Demi Grafis, Maafkanlah
Hamba…
Beberapa bulan lalu, pada kurun November 2016
bertempat di galeri Sangkring Art Project, Esa memamerkan beberapa karya
cukilan kayu yang cenderung berukuran besar, seukuran A0 . Pameran dihadirkan
dalam mini group bersama rekan
sepermainannya sejumlah 9 orang. Pameran mereka beri judul EVERYTHINK, yang secara tema besar merupakan presentasi karya urban berbasis lintas subkultur, ada tattoo, graffiti, drawing, illustration,
typografi, graphic dan design.
Karya tersebut kembali dipamerkan bersamaan dengan karya lain yang rata-rata
diproduksi tahun sebelumnya, 2015 – lebih menonjol penggunaan warna merah
berikut permainan layer, kesemuanya dihadirkan dalam pameran Tugas Akhir berjudul
“Metafora Gurita dalam Penciptaan Karya Seni Grafis Cetak Tinggi (Hardboardcut)”. Menarik menjadi poin
adalah karya cukil Esa Adi menjangkau dua ruang uji sekaligus. Pertama kepada
publik, kedua di wilayah akademis. Ada sedikitnya beberapa catatan yang akan
diuraikan mengenai karya Esa atas presentasinya kepada publik, dengan mengambil
beberapa konteks dalam youth culture,
urban dan fenomena kolektif.
Visualisasi gurita sengaja dipilih sebagai
dasar pembentukan image karya, dan
metafora menjadi instrumen dalam tugasnya mendistribusikan berbagai makna, hal
inilah yang menjadi konsep Esa dalam berkarya. Secara umum boleh diartikan, ia
hendak menghadirkan objek gurita dengan pendekatan yang puitik. Menengok
beberapa pola, gurita dalam karya Esa tidak seluruhnya mempresentasikan subjek
atupun ketokohan, kecuali beberapa judul karya yang sengaja ‘digabungkan’ dalam
format octo-x (misal; octohorn, octocircus, octosamurai, octowings),
seri tersebut menurut saya adalah yang paling ideal terkait konsep.
Berikutnya dalam judul nahkoda diri, time of my life, dan daddycation sesungguhnya cukup membuat rancu atas konsep yang ia
tawarkan. Tiga karya tersebut, lebih cenderung mengandalkan permainan objek
sebagaimana tantangan gaya surrealist –
menaruh objek semaunya. Artinya di situ gurita telah hilang fungsinya sebagai
metafor, sebab ia disejajarkan dan hadir bersamaan objek yang dimetaforkan atau
objek yang berfungsi sebagai metafor itu sendiri, seperti kemudi, tulang rusuk, jam pasir dan
tengkorak. Satu disayangkan lagi bahwa bagian tubuh gurita (kaki/tangan)
terlihat hanya memenuhi aspek dekoratifnya. Hal ini juga ditemui di seri merah;
legtopus dan handtopus – tak lebih dari
sifatnya yang hanya memadukan.
Ada yang khusus bagi Esa, bahwa karya cukilnya
keluar dari kecenderungan umum, di mana seringkali dijumpai karya cukil hadir
dalam gaya ekspresif, seperti biasa ditemui lewat karya-karya kelompok lembaga
kebudayaan Taring Padi yang sarat akan muatan propaganda dan protes. Karya Esa
Secara visual nampak bergaya pop, sebagaimana rekaan gambar yang dihasilkan
oleh alat berbasis digital macam komputer, atau lebih dikenal dengan type vector. Hal ini tersebab ia
mempunyai latar belakang aktivitas sebagai designer
– terlebih keputusannya mengambil konsentrasi Desain Komunikasi Visual.
Adalagi, Esa juga keluar dari kecenderungan visual seseorang yang mempunyai
kapasitas kerja design, di mana
seringkali menghadirkan banyak objek untuk diolah dan dikombinasikan dalam
rumusan layout. Justru karyanya tampil dalam nuansa tunggal, simpel namun
juga detail. Ia sperti mengamini pakem-pakem tradisional yang dalam istilah
alternatifnya; oldskull[2].
Perupa yang sesekali menyalurkan hobinya
bermusik keras ini mengaku begitu kagum dengan karya Katsusika Hokusai, yang
paling dikenal dengan judul “ The Great Wave Off Kanagawa”. Maha karya sempurna
yang memenuhi perhitungan Fibonacci, sekilas nampak lukisan tapi sesungguhnya
adalah karya Woodblock Print. Ini
membuatnya makin tertarik sekaligus tertantang dengan karya grafis. Ia juga antusias
menyampaikan bahwa “logo fashion brand
kenamaan Quiksilver terinspirasi
dari karya tersebut”, karya Hokusai seolah memakemkan bentuk ombak, keren!
Berbeda lagi dengan idolanya yang lain, tersebutlah Dennis Mcnett a.k.a
Wolfbat, sosok ini menjurus gebrakan karyanya di lingkungan urban yang lebih industrial. Seniman
cukil ini popular di medan subkultur macam scene
punk hingga skateboard. Karya-karyanya mendapat apresiasi berlebih dalam ujud produk-produk keluaran berbagai brand, seperti Kr3w Denim, Vans dan Anti-Hero Skateboard. Menarik, bahwa
para seniman urban dikukuhkan posisi
dan popularitasnya lewat visual yang
kerap hadir dalam produk. Seringkali muncul dalam kaos, kover album, poster,
video klip dan sebagainya – tidak dalam presentasi formal macam pameran ataupun
kompetisi seni.
Menyimak
pencapaian visual karya cukil Esa bisa membawa kita dalam kondisi dilematis.
Bahwa dengan tipe gambar, sebagaimana ia sajikan, khas dengan pola cap, bidang
yang solid, garis yang tegas, dan tidak mengenal background – minim ekspresi,
tidak jauh beda dengan hasil kerja aplikasi corel
draw misalnya. Peran yang dapat kita sumbang adalah apresiasi atas
kemampuan teknisnya. Ada beberapa komentar yang muncul – komentar pada umumnya,
bahwa teknis sesesorang dianggap hebat karena dapat menyamai kerja mesin, mesin
seolah dalam posisinya lebih hebat dari manusia. Ini pandangan yang salah,
mereka lupa kepada siapa pencipta mesin. Memang Esa mempunyai kemampuan mumpuni
dalam hal teknis, kemampuan ini pula yang menjadikan karyanya unik. Namun jika kita
lebih menekankan Esa pada wilayah teknis, maka seusungguhnya kita adalah
apresiator yang menyedihkan. Celakanya, yang menjadi pertanyaan, apakah
kasus-kasus ini relevan di wilayah pop
urban?
Robert Williams,
bapak lowbrow sejagad raya itu,
menerima sambutan visualnya dalam konteks fine
art tersebab gaya visual yang disebut pop
surrealist. Ketokohannya baru benar-benar kukuh ketika ia mendirikan
majalah Juxtapoz. Ahli racik hal-hal underground
macam komik, modifikasi kendaraan, film dan serba-seri psychedelic. Perlu berpuluh-puluh tahun membangun dunia bawah
tanahnya menjadi wacana penting. Kerja karyanya lebih banyak menekankan aspek
kemasan, berupa gimmick ataupun games. Dalam dunia lowbrow, sesungguhnya penuh muatan politik, ia tampil dengan cara
simbolis. Luar biasanya, semangat pergerakan ini disebarluaskan melalui trend dalam berbagai produk.
Esa saat ini dan dalam pameran ini memang dalam
jangkauan hal-hal yang bersifat personal dan tahap permulaan ekplorasi artistik,
ia masih muda dan bersemangat. Usaha saya dalam menyebut Robert Williams dengan
maksud untuk memberi gambaran bagaimana skema kesenian urban bekerja. Jika
boleh menyebut ia seperti persilangan antara produksi artistik dengan industri,
antara yang akademis dengan yang underground,
antara yang politik simbolis dengan yang tren. Serasa kompleks, karya cukil Esa
lewat Tugas Akhir bisa jadi pemberontakan atas ‘kecenderungan mahasiswa’,
gambar sarat pop adalah sesuatu yang konvensional, laku manual merupakan sikap
protes, pengalaman bak intermezzo dan
boleh jadi grafis hanyalah sebagai alat.
[1] Meminjam
telaah Aminudin Th Siregar dalam Tentang
Seni Grafis – Majalah Visual Art Juni 2010; Kehadiran karya seni grafis di
Indonesia yang diperkenalkan oleh Mochtar Apin lewat proyek seni grafis dilihat
sebagai kepentingan politik. Proyek ini digagas oleh Sekretariat Menteri Urusan
Pemuda untuk menyambut ulang tahun kemerdekaan pertama, Agustus 1946.
[2] Semacam aliran
yang berkembang pada fase awal, hampir di berbagai medan subkultur mengenalnya.
Misal dalam hip-hop, graffiti juga tattoo. Oldskull
untuk menyebut bentuk yang awal sebagai pembeda dari yang klasik ataupun
kuno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar