Nyala Api dari Garasi
Sebuah garasi, yang relatif sempit dan sederhana, bagi sebagian
orang adalah sebuah harapan. Beberapa orang di garasi itu percaya bahwa mereka
mampu bertahan dan mandiri secara bersama-sama. Ruang garasi tersebut juga
telah jadi milik semua orang, menjadi ruang hidup bersama, bagi siapapun yang
memuliakan kerja, percaya pada perdamaian, juga menghormati hak asasi setiap
manusia. Barangkali sejak 2009, garasi yang pernah berlokasi di Jalan Bugisan Selatan,
Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, adalah yang paling sibuk. Lokasi garasi
telah menjadi medan parkir berbagai peristiwa, dari pertemuan, pameran,
pertunjukan, presentasi, diskusi, loka karya, kelas ... hingga yang tak pernah
diduga, situs ini menjadi saksi atas aksi pembubaran oleh massa intoleran, yang
justru malah menjadikan para penghuni lebih memahami arti di balik nama ruang bersamanya
itu; “SURVIVE! Garage”.
Pada 2016, mereka musti sadar bahwa garasi bukan lagi miliknya, bahwa
mereka sejatinya tak pernah punya garasi, apalagi isinya. Melainkan garasinya
telah berubah menjadi spirit, menjadi api dalam genggaman, maka api harus tetap
dijaga, “keep the fire on!” SURVIVE! Garage kini telah menjadi rumah yang lebih
memadai di jalan Nitiprayan, Kasihan, Bantul, esok mungkin jadi gedung, galeri,
atau mungkin kebun, bisa juga sawah dan tanah lapang... yang entah dimana. Ruang
atau rumah seperti halnya tanda tangan pelukis Nashar, ia bisa di kanvas, di
ruang pamer, di catatan harian, atau di kepalanya sendiri. Pun demikian sebuah
garasi bagi keluarga SURVIVE!, mestinya terdapat juga di hati masing-masing
anggota, untuk meletakkan makna-makna kekeluargaan, kemandirian, bahkan
perlawanan.
Lalu, apa yang menjadi visi besar SURVIVE! Garage, setelah setidaknya mereka
mampu bertahan hingga hari ini, mungkin juga 10 tahun nanti. Mengingat hari ini
ia menyambut jadi medan, mampu menarik massa dan punya kekuatan. Dan, untuk apa
kekuatan itu. Mengapa harus bertahan, mengapa bukan berhasil. SURVIVE! Garage
sadar bahwa bertahan lebih mengacu pada sebuah proses, bahwa setiap upaya
bertahan telah menunjukan keberhasilannya. Sementara berhasil lebih fokus pada
target, identik dengan pencapaian, angka-angka atau yang lebih bersifat
material, sebab berhasil berarti mati api. SURVIVE! Ingin selalu berfungsi
sebagai laboratorium terbuka, bagi mereka yang kesulitan mendapat tempat,
mereka yang kurang dianggap, yang terkucil bahkan tertolak. SURVIVE! yakin akan
sebuah alternatif lewat kemampuan masing-masing orang, terkhusus anak muda juga
anak baru, merekalah yang patut didukung, diajak berpikir dan bekerja sama,
bukan mencekoki ataupun menyuruh.
Keberhasilan mungkin
tak terhitung jumlahnya dalam tiap usaha bertahan, bertahan juga bukan berarti
tidak menyerang, itu mengapa “SURVIVE!
Attack” hadir. SURVIVE! Attack
memasuki babak ketiga sebagai reportase dan komunikasi dari proses dan dukungan
antar seniman SURVIVE! yang cukup intens selama beberapa tahun terakhir.
Mewarisi platform sebelumnya, lewat
kerja kolaboratif, pada satu kesempatan bekerja sama dengan Bentara Budaya
Yogyakarta, ruang seni yang turut mengabdi pada kemanusiaan. Berbeda dengan
sebelumnya, sebuah pameran menjadi kolaborasi antar ruang dengan ruang.
Ada karya lukis,
cetak, dan tempelan dari tangan-tangan yang menjadi wadah gundah, dari
jari-jari yang kerap digenggam para korban ketidakadilan, juga telunjuk yang
kerap tergetar ketika hendak menuliskan rasa keberpihakan dalam sebuah layar. Pada
malam hari, ketika pameran usai, lampu galeri dimatikan, karya-karya itu
menyala, menerangi Jogja, memberi ketabahan bagi yang merasa kesepian, memberi
rasa yakin pada mereka yang sedang bertahan.
Huhum Hambilly
Sleman,4:58, 30 Juli 2018
*) Artikel ini dimuat sebagai pengantar pameran Survive Attack 2018 di Bentara Budaya
Persiapan Pameran
Ruang Pameran di Bentara Budaya
Pembukaan Pameran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar